Jumat, 24 Desember 2010

Islamicnet artikel: Keutamaan Bulan Muharram

Islamicnet artikel: Keutamaan Bulan Muharram: "Dalam kalender Hijriah terdapat empat bulan haram, yakni Dzulqaidah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab. Disebut haram karena keempat bulan it..."

Selasa, 07 Desember 2010

Puasa Muharram


Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pada zaman Rasulullah, orang Yahudi juga mengerjakan puasa pada hari 'asyuura. Mereka mewarisi hal itu dari Nabi Musa AS. Berawal dari situlah puasa Muharram di sunnahkan.

Dari Ibnu Abbas RA, ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa. Rasulullah SAW bertanya, "Hari apa ini? Mengapa kalian berpuasa?" Mereka menjawab, "Ini hari yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir'aun. Maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kami pun berpuasa."Rasulullah SAW bersabda, "Kami orang Islam lebih berhak dan lebih utama untuk menghormati Nabi Musa daripada kalian." (HR. Abu Daud).

Puasa Muharram merupakan puasa yang paling utama setelah puasa ramadhan. Rasululllah SAW bersabda:

Dari Abu Hurairah RA, Rasululllah SAW bersabda:

 “Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa dibulan muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam”.(HR. Muslim, Abu Daud, Tirmizdi, dan Nasa’i).

Puasa pada bulan Muharam yang sangat dianjurkan adalah pada hari yang kesepuluh, yaitu yang lebih dikenal dengan istilah ‘Asyuura.

Aisyah RA pernah ditanya tentang puasa 'asyuura, ia menjawab, "Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW puasa pada suatu hari yang beliau betul-betul mengharapkan fadilah pada hari itu atas hari-hari lainnya, kecuali puasa pada hari kesepuluh Muharam." (HR Muslim).

Dalam hadits lain Nabi juga menjelaskan bahwa puasa pada hari ‘asyura (10 Muharram) bisa menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lewat.

Dari Abu Qatadah RA, Rasululllah SAW ditanya tentang puasa hari ‘asyura, beliau bersabda:  

”Saya berharap ia bisa menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat” (HR. Muslim)

Disamping itu disunnahkan untuk berpuasa sehari sebelum ‘Asyura yaitu puasa Tasu’a pada tanggal 9 Muharram, sebagaimana sabda Nabi SAW yang termasuk dalam golongan sunnah hammiyah (sunnah yang berupa keinginan/cita2 Nabi tetapi beliau sendiri belum sempat melakukannya):

Ibnu Abbas RA menyebutkan, Rasulullah SAW melakukan puasa 'asyuura dan beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Para sahabat berkata, "Ini adalah hari yang dimuliakan orang Yahudi dan Nasrani. Maka Rasulullah saw. bersabda :

"Tahun depan insya Allah kita juga akan berpuasa pada tanggal sembilan Muharam." Namun pada tahun berikutnya Rasulullah telah wafat. (HR. Muslim, abu Daud).

Berdasar pada hadist ini, disunahkan bagi umat Islam untuk juga berpuasa pada tanggal sembilan Muharam. Sebagian ulama mengatakan, sebaiknya puasa selama tiga hari: 9, 10, 11 Muharam.

Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda :

"Puasalah pada hari 'asyuura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah sehari sebelum 'asyuura dan sehari sesudahnya." (HR Ahmad).

Ibnu Sirrin berkata: melaksanakan hal ini dengan alasan kehati-hatian. Karena, boleh jadi manusia salah dalam menetapkan masuknya satu Muharam. Boleh jadi yang kita kira tanggal sembilan, namun sebenarnya sudah tanggal sepuluh. (Majmuu' Syarhul Muhadzdzab VI/406) .

Semangat Hijrah


Segala puji hanya bagi Allah Azza Wazalla yang tiada terhingga, karena-Nya lah kita semua telah sampai dan bertemu kembali dengan tahun baru 1432 Hijriah. Tidak lupa marilah kita sampaikan shalawat dan salam kepada Uswatun Hasanah kita, Sayyidul Anbiyaa Wal Mursaliin Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam.

Sudah sewajarnya setiap memasuki tahun baru Islam, kita hendaknya memiliki semangat baru untuk merancang dan melaksanakan hidup ini secara lebih baik. Kita seharus merenung kembali hikmah yang terkandung di balik peristiwa hijrah yang dijadikan momentum awal perhitungan Tahun Hijriyah. Tahun hijriyah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Sistem penanggalan Islam itu tidak mengambil nama 'Tahun Muhammad' atau 'Tahun Umar'. Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, tidak seperti sistem penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani).

Tidak juga seperti sistem penanggalan Bangsa Jepang, Tahun Samura, yang mengandung unsur pemujaan terhadap Amaterasu O Mi Kami (dewa matahari) yang diproklamasikan berlakunya untuk mengabadikan kaisar pertama yang dianggap keturunan Dewa Matahari, yakni Jimmu Tenno (naik tahta tanggal 11 pebruari 660 M yang dijadikan awal perhitungan Tahun Samura) Atau penangalan Tahun Saka bagi suku Jawa yang berasal dari Raja Aji Saka.

Penetapan nama Tahun Hijriyah (al-Sanah al-Hijriyah) merupakan kebijaksanaan Khalifah Umar. Seandainya ia berambisi untuk mengabadikan namanya dengan menamakan penanggalan itu dengan Tahun Umar sangatlah mudah baginya melakukan itu. Umar tidak mementingkan keharuman namanya atau membanggakan dirinya sebagai pencetus ide sistem penanggalaan Islam itu. Ia bahkan menjadikan penanggalan itu sebagai zaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi harganya bagi agama dan umat Islam. Selain Umar, orang yang berjasa dalam penanggalan Tahun Hijriyah adalah Ali bin Abi Thalib. Beliaulah yang mencetuskan pemikiran agar penanggalan Islam dimulai penghitungannya dari peristiwa hijrah, saat umat Islam meninggalkan Makkah menuju Yatsrib (Madinah). 

Dalam sejarah hijrah nabi dari Makkah ke madinah terlihat jalinan ukhuwah kaum Ansor dan Muhajirin yang melahirkan integrasi umat Islam yang sangat kokoh. Kaum Muhajirin-Anshar membuktikan, ukhuwah Islamiyah bisa membawa umat Islam jaya dan disegani. Bisa dimengerti, jika umat Islam dewasa ini tidak disegani musuh-musuhnya, menjadi umat yang tertindas, serta menjadi bahan permainan umat lain, antara lain akibat jalinan ukhuwah Islamiyah yang tidak seerat kaum Mujahirin-Anshar.

Dari situlah mengapa konsep dan hikmah hijrah perlu dikaji ulang dan diamalkan oleh umat Islam. Setiap pergantian waktu, hari demi hari hingga tahun demi tahun, biasanya memunculkan harapan baru akan keadaan yang lebih baik. Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Hadist Rasulullah yang sangat populer menyatakan :
 ''Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, Adalah orang yang beruntung “.
Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka.'' Oleh karena itu, sesuai dengan firman Allah:

''Hendaklah setiap diri memperhatikan (melakukan introspeksi) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (alam akhirat) dan bertakwalah, sesungguhnya Allah maha tahu dengan apa yang kamu perbuatkan''. (QS. Al-Hasyar: 18).

Sungguh indah apabila ditahun baru ini kita mempunyai semangat yang kuat untuk menjadikan lebih baik lagi dari tahun-tahun yang telah kita lewati, sehingga apapun yang kita lewatu menjadi lebih berarti untuk dijadikan bekal kita dikala mengahdap Allah Rabbul'Aalamiin nanti…….

SELAMAT TAHUN BARU 1432 HIJRIAH


Tetap Bersyukur

Syukur kepada Allah yang tiada terhingga, karena-Nya lah sampai saat ini kita masih bisa merasakan berbagai macam ni’mat dalam kehidupan didunia ini. Dan sebagai hamba yang lemah kita tidak mungkin bisa menghitung betapa banyaknya ni’mat yang telah Allah karuniakan kepada kita semua. Maka benarlah Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 34 :
 
"Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala sesuatu yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni’mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya." (Ibrahim: 34). 

Jika kita mau menyadari dan merenungi betapa agungnya ni’mat Allah yang telah Dia anugerahkan kepada kita, niscaya tidak ada alasan apa pun bagi kita untuk durhaka kepada-Nya. Betapa tidak, sedangkan apa yang dialami seorang hamba dari mulai bangun tidur hingga tidur kembali, bahkan dalam tidur itu sendiri, semuanya itu tidak akan dapat ia jalani melainkan karena karunai dan izin dari-Nya. Apa yang ada pada diri dan jasad kita dari mulai ujung Rambut hingga ujung kaki adalah pemberian Allah. Apa yang ada di sekeliling kita dari mulai keluarga, kerabat, sanak saudara hingga harta benda adalah karunia Allah. Tidak ada satu detik pun yang dijalani Oleh seorang hamba dalam kehidupannya di dunia ini, melainkan ia selalu berada di bawah karunia dan anugerah Allah Yang Maha Pencipta. Allah Ta’ala berfirman

"Dan apa saja ni’mat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya)." (An-Nahl: 53).

Setelah mengetahui hakikat yang agung ini, lalu apakah yang harus kita lakukan sebagai seorang hamba lemah yang tidak memiliki daya upaya apa pun untuk mewujudkan sesuatu melainkan karena pertolongan dari-Nya.  Lalu akankah kita durhaka kepada-Nya padahal setiap detik kita meni’mati pemberian-Nya? Akankah kita melalaikan-Nya karena kesombongan kita dengan mengatakan bahwa segala yang kita capai adalah karena usaha dan jerih payah kita belaka, padahal tidaklah kita tinggal melainkan di atas bumi-Nya dan bernaung di bawah langit-Nya? 

Dengan demikian sudah menjadi suatu keniscayaan dan kewajiban yang tidak dapat lagi kita tawar, yakni untuk senantiasa ber-syukur kepada Allah Ta’ala, kapan pun, di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Meski kita sadari, bahwa sebanyak apa pun kita berusaha untuk mensyukuri ni’mat Allah Ta’ala, niscaya syukur kita tersebut tidak akan mungkin dapat membayar segala keni’matan yang telah Allah SWT anugerahkan kepada kita, bahkan syukur yang kita lakukan pun, adalah bentuk ni’mat yang Allah karuniakan kepada kita. Karena tidak akan mungkin bagi kita untuk menjadi hamba Allah yang bersyukur jika bukan karena Ridha dan izin-Nya kepada kita. Perhatikan Firman Allah dalam Al-Qur’an :

"Dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah." (Al-Baqarah: 172). 

Bersyukur kepada Allah tidak cukup dengan mengucapkan "Alhamdulillah" saja ketika kita mendapatkan ni’mat. Karena syukur tidak cukup hanya dengan lisan, melainkan harus dengan hati, juga lisan, dan anggota badan. Syukur dengan hati yakni kita mengakui dan meyakini bahwa apa pun ni’mat yang kita peroleh, semata-mata datangnya dari Allah Ta’ala. Sedangkan syukur dengan lisan, yaitu kita selalu membasahi lisan ini dengan dzikir dan ucapan syukur kepada-Nya. Adapun syukur dengan anggota badan, maka kita menggunakan segala bentuk ni’mat yang telah Allah anugerahkan kepada kita sebagai sarana untuk menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Kita pergunakan ni’mat apa pun yang telah diberikan-Nya untuk merealisasikan tujuan utama kita diciptakan, yakni untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu." (Adz-Dzariyat: 56).

Dan salah satu obat yang dinasehatkan dalam agama islam agar kita menjadi orang yang bersyukur ialah dengan bersikap Qana’ah yaitu menerima apapun yang telah diberikan oleh Allah didalam kehidupan ini.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

"Jadilah orang yang qana'ah, niscaya engkau menjadi manusia yang paling bersyukur." (HR. Ibnu Majah, nO. 4214, dan dishahihkan Oleh al-Albani). 

Kebahagiaan tidaklah diukur dengan berlimpahnya materi dunia, akan tetapi dengan kenyamanan dan ketenangan jiwa, dan itu hanya akan diraih oleh orang mukmin yang selalu bersyukur kepada-Nya. Marilah sama-sama senantiasa kita syukuri segala ni’mat yang telah dikaruniakan sekecil apa pun ni’mat itu menurut kita, karena Allah SWT telah menjanjikan pahala bagi orang yang mau bersyukur, dan mengancam dengan siksa bagi orang yang kufur. Sebagaimana Firman-Nya,

"Dan ingatlah tatkala Rabbmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Ibrahim: 7). 

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur dan selalu qana'ah terhadap apa pun yang kita dapatkan….Aamiin.