Minggu, 26 Juni 2011

Kebahagiaan Yang Haqiqi


Alhamdulillah kita panjatkan puji dan syukur ke hadhirat Allah yang Maha Rahman dan Rahiim, atas segala ni’mat dan karunia yang telah diberikan kepada kita semua. Salah satu dari ni’mat yang tak terhitung itu ialah bisa bersilaturrahminya kita melalui blog ini, yang kita jadikan media untuk saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Semoga semua selalu berada dalam keridhoan dan lindungan –Nya. Aamiin.

Sholawat dan salam marilah kita sanjungkan kepada Nabi akhir zaman yang menjadi teladan bagi kita semua dialah Nabi Muhammad SAW, juga kepada keluarganya, para sahabat, para tabi’in dan para pengikut yang selalu istiqomah menjalankan segala ajaranya, semoga termasuk kita didalamnya.

Saudaraku ...
Sebagai manusia sudah barang tentu kita mendambakan dan mengidamkan kehidupan yang bahagia. Berbagai macam pandangan orang tentang makna sebuah kebahagiaan. Ada di anatara kita yang yang menggambarkan kebahagiaan itu dengan kekayaan, dengan uang yang apabila kita menginginkan sesuatu maka akan langsung terpenuhi. Ada juga yang menggangap apabila mempunyai jabatan yang tinggi dan terhormat dimasyarakat itu merupakan sebuah kebahagian.

Saudaraku ...
Makna kebahagiaan seperti yang diatas tidak disalahkan, tapi kita harus ingat bahwa semua itu hanya sebagaian kecil dari sebuah kebahagian yang sebenarnya. Dan hal penting yang harus selalu kita ingat adalah baik kaya maupun miskin semua itu adalah ujian dari Allah SWT. Oleh karenanya kebahagiaan yang haqiqi bukan terletak pada bergelimangnya harta, bertumpuknya uang dan jabatan yang tinggi ... melainkan terletak pada bagaimana kita bisa mensyukuri dan memaknainya dalam kehidupan didunia yang fana ini. Nah ... Saudaraku lebih lanjut mari kita perhatikan firman Allah SWT dalam Al Qur’an yang artinya :     

"Barangsiapa yang beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dan dia (dalam keadaan) beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia). dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (di akhirat kelak)" (Q.S an-Nahl: 97).

Beberapa sahabat ahli tafsir dari kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti  Ibnu Abbas, Ali bin Abi Thalhah, Ikrimah dan Wahab bin Munabbih dan pernah menuturkan sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya ketika memberikan penjelasan terhadap ayat tersebut, bahwa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik di dunia adalah Allah akan memberikan rizki yang halal dan baik, timbulnya rasa qana'ah (perasaan cukup) dengan apa yang telah Allah anugerahkan dan karuniakan, serta mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan di dalamnya.

Berkaitan dengan permalahan rizki yang telah Allah Ta’ala tentukan dan anugerahkan kepada setiap hamba-Nya, maka ada beberapa hal yang harus menjadi keyakinan seorang muslim, diantaranya:

Manakala kita telah menyakini bahwa diantara sifat fi’liyah yang dimiliki Allah Subhaanahu wa ta'ala dan menujukkan kesempurnaan rububiyah-Nya adalah Allah Ta’ala sebagai Dzat satu-satunya Pemberi Rizki kepada setiap makhluk, Dia sendiri yang telah menentukannya sesuai dengan kadar masing-masing sejak 50 ribu tahun sebelum bumi diciptakan, kemudian ketentuan ini ditulis oleh malaikat sejak manusia berada di dalam kandungan ibunya pada 40 hari ke 4, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh sebuah hadit riwayat Imam Muslim, maka termasuk konsekwensi iman terhadap qadha dan qadar Allah Ta'ala bagi setiap muslim dalam masalah ini adalah, dia harus menyakini bahwa segala bentuk rizki, baik yang datang dari langit maupun buminya, dalam bentuk harta dan anak, rumah, perkebunan, sehat dan tentram telah Allah tentukan bagi setiap hamba-Nya, bahkan kepada binatang melata pun telah Allah Ta’ala berikan bagiannya. Allah Ta'ala berfirman :

”Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Huud : 6)

Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Sesungguhnya seseorang tidak akan meninggal dunia sampai ia sudah meraih seluruh bagian rizkinya, maka bertaqwalah kepada Allah dan lakukan cara yang baik dalam mencari rizki." (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Albani)

Saudaraku ...
Dengan demikian setiap kebaikan dan setiap bentuk dan kadar rizki setiap makhluk telah Allah tentukan, tidak ada seorang pun yang memiliki kewenangan untuk menolak dan menahannya, sebagaimana tak ada seorangpun yang dapat merubah ketentuan tersebut. Sebagaiman yang demikian telah merusak keyakinan sebagian kaum muslimin, sehingga mereka terjerumus dalam sekian bentuk kesyirikan, mereka mendatangi tukang ramal, mencari hari baik dan mujur, mengarahkan bangunan rumah-rumah mereka ke arah tertentu bahkan melakukan dan mengadakan ritual-ritual tertentu dengan keyakinan agar mendapatkan rizki yang banyak. Na’udzubillahi mindzalik.

Di antara keyakinan yang harus dimiliki oleh setiap muslim dalam masalah rizki juga, bahwa Allah Ta'ala telah membagi dan memberikan keutamaan sebagian orang terhadap lainnya berkaitan dengan rizki dan yang demikian tidak ada hubungannya sama sekali dengan nasab dan keturunan, warna kulit, kedudukan, kehormatan, kepandaian, bahkan keta'atan dan kemaksiatan seseorang. Namun Allah Ta'ala memberikan nikmatnya kepada seluruh makhluknya untuk suatu hikmah dan tujuan yang Allah ketahui dan kehendaki.

Sehingga dengan demikian ada sebagian di antara manusia yang mendapatkan harta yang cukup atau bahkan melimpah ruah dan sebagian yang lain justru sebaliknya, serba kekurangan dan menghadapi kesulitan hidup.

Dalam hal Allah Ta'ala telah menegaskan sebagaimana firman-Nya :

Dan Allah telah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.” (QS. An nahl : 71)

Namun yang terjadi, betapa banyak orang yang telah Allah Ta'ala karuniakan rizki yang melimpah, kedudukan yang berada, keluarga terhormat dan terpandang di masyarakat, namun mereka tidak mendapatkan dan merasakan sedikitpun nilai suatu kebahagian hidup di dunia sama sekali apalagi di akhirat karena mereka telah jauh dari tuntunan Allah Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallaahu 'alaihi wasallam. Sebaliknya betapa banyak orang yang berkehidupan serba kekurangan dan pas-pasan, namun mereka justru dapat merasakan kebahagiaan dengan keadaan yang telah ditentukan oleh Allah Ta'ala terhadapnya karena ketaqwaan, kesabaran, rasa tawakkal, dan qana'ah yang mereka miliki serta khusnudhan mereka terhadap Allah Ta'ala.

Mereka merasa telah mendapatkan kebaikan yang banyak. Dan ini semua merupakan sebab-sebab mereka mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Apa yang menjadi rahasia di balik ini semua ….?? Sesungguhnya rizki yang haqiqiy adalah hati yang terhiasi dengan keimanan dan perasaan cukup dengan apa yang telah AllahTa'alaanugerahkan. Sehingga seseorang merasa mendapat kebaikan dan merasakan kebahagiaan di dunia sebelum akhiratnya. Oleh karena itulah suatu ketika Umar bin Khathab pernah menulis surat kepada Abu Musa al-Asy'ari, dan beliau mengatakan kepadanya :

"Merasa cukuplah dengan rizkimu di dunia, sesungguhnya Allah Ta'ala telah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki"

Maka manakala Allah Ta'ala menginginkan terhadap hamba-Nya satu kebaikan dan kebahagiaan, maka Allah Ta'ala akan memberikan keberkahan dan mencatat baginya kebaikan dalam menggunakan segala bentuk kenikmatan dan mendapatkan keberkahan pada hartanya, keberkahan dalam keluarganya, dan keberkahan dalam setiap keadaan dan urusannya. Kalau sudah demikian tidak ada seorangpun yang dapat menutup segala keberkahan tersebut. Sebaliknya jika Allah Ta'ala menghendaki sebaliknya maka tak akan ada seorangpun yang dapat memberikan keberkahan. Maka yang menjadi ukurannya adalah keberkahan dan inilah rizki yang hakiki. Bagaimana Allah Ta'ala dengan kekuasaan-Nya menjadikan yang sedikit menjadi banyak, dan yang kecil menjadi besar. Dan jika Allah Ta'ala menghendaki demikian, maka Allah Ta'ala akan membukakan dan memudahkan kepada seseorang mendapatkan sebab dan jalan pintu-pintu keberkahan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat,maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu.Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Faathir : 32)


Keyakinan berikutnya adalah, bahwa rizki yang telah Allah Ta'ala anugerahkan kepada kita seharusnya kita jadikan sebagai washilah dan sarana untuk mendekatkan diri dan menjaga ketaatan kita kepada Allah Ta'ala dan bukan justru sebaliknya.
Syaikhul Islam Taqiyuddin rahimahullah pernah menuturkan :

Sesungguhnya Allah Ta’ala mencipatakan manusia hanyalah agar mereka beribadah kepada-Nya, dan menciptkakan rikzi untuk mereka hanyalah agar dengannya dapat membantu mereka dalam beribadah kepada-Nya.”

Dengan demikian pada hakekatnya, apa yang telah Allah Ta'ala anugerahkan bukan untuk kesenangan dan permainan yang telah diharamkan oleh Allah Ta'ala Rasul-Nya sehingga dapat melalaikan akhirat.

Bagaimana mereka akan mempertanggungjawabkan ketika Allah Ta'ala meminta pertanggungjawaban harta tersebut di hari kiamat kelak..? wallahu musta’an.

Banyak kita temukan ayat-ayat al-Qur’an yang yang menunjukkan bahwa maksud terpenting Allah Ta'ala menganugerahkan rizki kepada setiap hamba-Nya adalah agar denga sarana rizki tersebut seorang hamba dapat beribadah kepada Allah Ta'ala.


Adapun syubhat perasaan yang sering terlintas dalam benak mayoritas kaum Muslimin adalah bahwa Allah Ta'ala telah banyak memberikan kemudahan dan kelapangan rizki kepada orang-orang yang pada hakekatnya jauh dari tuntunan Allah dan Rasul-Nya, pelaku maksiat, bahkan orang-orang dari kalangan non muslim, dan sebaliknya kaum Muslimin justru dalam keadaan serba kekurangan, kelaparan, menderita dan lain sebagainya.

Maka sikap seorang muslim yang benar, dia harus meyakini bahwa ini semua adalah merupakan bentuk ujian dan cobaan dari Allah subhaanahu wa Ta'ala bagi orang-orang yang masih memiliki rasa keimanan kepada-Nya!! Dan sesungguhnya ketika Allah Ta'ala memberikan rizki kepada setiap hamba-Nya, maka yang demikian tidaklah pasti menunjukkan kecintaan Allah Ta'ala dan ridha kepadanya.

Allah Ta'ala telah tegaskan dalam berfirman:

"Dan kepada orang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali". (QS. Al Baqarah :126)

Maka terkadang Allah Ta'ala memberikan rikzi kepada orang-orang yang jahat lebih banyak daripada orang-orang yang baik. Dan memberikan rizki kepada orang-orang kafir berlipat ganda dan keadaan kaum Muslimin pada mayoritasnya justru sebaliknya. Allah Ta'ala berfirman,

Berapa banyak umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka, sedang mereka adalah lebih bagus alat rumah tangganya dan lebih sedap dipandang mata.” (QS. Maryam:74)

Saudaraku ...
Marilah kita renungkan sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bersumber dari 'Uqbah bin Amir , Rasulullah Shalallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Seandainya kamu melihat Allah ta'ala menganugerahkan nikmat dunia kepada seorang hamba, sementara dia pelaku maksiat, maka ketahuilah bahwa yang demikian hanyalah istidraj dari Allah"

Kemudian beliau membaca ayat:

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al An’am:44)

Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata:"Rabbku telah memuliakanku". (QS. 89:15) Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata:"Rabbku menghinakanku". (QS. Al Fajr:16)

Akhirnya saudaraku ... marilah kita selalu berhusnuzh-zhan, berprasangka baik kepada Allah Ta'ala dalam situasi dan kondisi apapun, ketika kita mendapatkan nikmat kita bersyukur, sebaliknya ketika kita mendapatkan musibah dan cobaan kita-pun bersabar untuk tujuan yang lebih agung yaitu kebahagiaan di akhirat.

Sahabat Jabir bin Abdullah pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tiga hari sebelum beliau wafat sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, beliau bersabda,

“Janganlah salah seorang diantara kalian meninggal, melainkan dia dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah Azza wa Jalla,” (HR. Muslim)

Kendatipun rizki seseorang telah ditetapkan semenjak manusia berada di dalam perut ibunya. Namun tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui pendapatan rizki yang akan ia peroleh pada setiap harinya, ataupun selama hidupnya. Ini semua tentu mengandung hikmah sesuai dengan kehendak Allah Ta'ala.

Allah Ta'ala berfirman,
"Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia usahakan. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Lukman: 34)

Dengan demikian seorang muslim disyari'atkan dan dituntut selayaknya tetap mencari sebab-sebab sehingga AllahTa'ala akan memberikan rizki kepadanya, dengan cara berusaha secara maksimal untuk mencari rizki yang halal dan baik, dan menjahui hal-hal yang haram, sehingga keberkahan ada di dalamnya dengan senantiasa menumbuhkan perasaan syukur kepada Allah Ta'ala, sabar serta tawakkal terhadap segala ketentuan Allah Ta'ala, menjaga ketaqwaan kepada-Nya, membiasakan bersedekah, menyambung silaturrahim, dan senantiasa berdo'a dan meminta hanya kepada Allah Ta'ala serta menjauhi segala bentuk kemaksiatan dan perbuatan dosa, karena kemaksiatan dapat menyempitkan dan mengurangi rizki seseorang dan keberkahannya. Sebagaimana hal ini banyak termaktub di dalam al-Qur'an dan hadits Nabi di dalam banyak tempat.

Semoga kita senantiasa berusaha dengan optimal mensyukuri segala ni’mat yang telah Allah berikan dan menjadi bagian amal shalih kita sehingga kita akan meraih kebahagian yang sesungguhnya. Aamiin.

Hidup Istiqomah

Sebagai agama samawi, Islam memadukan antara dimensi esoterik (‘aqidah) di satu sisi, dan dimensi eksoterik (syari’ah) di sisi yang lain. Dimensi eksoterik ajaran Islam memuat ajaran paling fundamental yang menyangkut sistem keimanan dan kepercayaan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala sebagai pencipta alam semesta. Oleh karena itu, pemaknaan atas iman secara benar dan istiqomah dimaksud untuk mestimulasi rasa spiritualisme keagamaan yang paling asasi dalam wujud penghambaan dan pengabdian secara total kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Istiqomah berasal dari kata Qawama yang berarti tegak lurus. Kata istiqomah selalu dipahami sebagai sikap teguh dalam pendirian, konsekuen, tidak condong atau menyeleweng ke kiri atau ke kanan dan tetap berjalan pada garis lurus yang telah diyakini kebenarannya.

Istiqomah adalah konsistensi, ketabahan, kemenangan, keperwiraan dan kejayaan di medan pertarungan antara ketaatan, hawa nafsu dan keinginan. Oleh karena itu mereka yang beristiqomah layak untuk dapat penghormatan berupa penurunan malaikat kepada mereka dalam kehidupan di dunia untuk membuang perasaan takut dan sedih dan memberi kabar gembira kepada mereka dengan kenikmatan surga. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (QS. Al-Fussilat:30).

Sikap istiqomah juga ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw sebagai identitas keislaman seseorang. Hal ini sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam:

Artinya: “Dari Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafi r.a berkata: Aku berkata Wahai Rasulullah...! katakanlah satu perkataan padaku tentang islam yang aku tidak perlu menanyakannya kepada orang lain. Sabda Rasullah saw: “ucapkanlah aku beriman dengan Allah kemudian beristiqomahlah kamu” (HR. Muslim)

Hadits di atas menjelaskan bahwa sikap istiqomah tersebut akan berimplikasi kepada bagaimana seorang muslim secara terus menerus dan konsisten berpegang teguh dalam beriman kepada Allah. Istiqomah itu sendiri dapat memberikan efek positif yang sangat besar bagi kehidupan seorang muslim dalam membentuk citra dirinya.

Citra diri (self image) atau konsep diri (self concept) adalah gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri. Walaupun citra diri mempunyai subyektivitas yang tinggi, tetapi hal itu merupakan salah satu unsur penting dalam proses pengembangan pribadi. Citra diri yang positif akan mewarnai pola sikap, cara pikir, corak penghayatan, dan ragam perbuatan yang positif juga, demikian pula sebliknya. Seseorang yang memandang dirinya cerdas misalnya, akan bersikap berfikir, merasakan dan melakukan tindakan-tindakan yang dianggapnya cerdas (sekalipun orang-orang lain mungkin menganggapnya berlagak pintar)

Sesuai dengan citra diri yang disebutkan, maka yang dimaksud dengan citra diri muslim adalah gambaran seorang mengenai dirinya sendiri, dalam artian sejauh mana ia menilai sendiri kualitas kemusliman, keimanan, dan kemuhsinannya berdasarkan tolak ukur ajaran Islam. Peneliaian ini benar-benar tidak mudah dan mengandung subjektivitas yang tinggi, tetapi hal ini dalam ajaran Islam sangat dianjurkan mengingat setiap muslim wajib melakukan muhasabah (evaluasi diri),
menghisab dirinya sebelum ia dihisab di hari akhir.

Seorang muslim yang melakukan istiqomah, maka ia telah melakukan sebuah usaha yang berkaitan dengan pengembangan pribadinya. Pengembangan pribadi adalah usaha terencana untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang mencerminkan kedewasaan pribadi guna meraih kondisi yang lebih baik lagi dalam mewujudkan citra diri yang diidam-idamkan. Usaha ini dilandasi oleh kesadaran bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang paling baik untuk dirinya dalam rangka mengubah nasibnya menjadi lebih baik.

Seseorang disebut memiliki kepribadian muslim manakala ia dalam mempersepsi sesuatu, dalam bersikap terhadap sesuatu dan dalam melakukan sesuatu dikendalikan oleh pandangan hidup muslim. Karakter seorang muslim terbentuk melalui pendidikan dan pengalaman hidup. Kepribadian seseorang disamping bermodal kapasitas fitrah bawaan sejak lahir dari warisan genetika orang tuanya, ia terbentuk melalui proses panjang riwayat hidupnya, proses internalisasi nilai pengetahuan dan pengalaman dalam dirinya. Dalam perspektif ini, agama yang diterima dari pengetahuan maupun yang dihayati dari pengalaman rohaniah, masuk ke dalam struktur kepribadian seseorang. Orang yang menguasai ilmu agama atau ilmu akhlak (sebagai ilmu) tidak otomatis memiliki kepribadian yang tinggi, karena kepribadian bukan hanya aspek pengetahuan.

Salah satu kegiatan pribadi adalah ‘menemukan makna hidup’ yang kiranya dapat dimodifikasi untuk merancang program pelatihan ‘menuju kepribadian muslim. Pelatihan menemukan makna hidup ini didasari oleh prinsip-prinsip panca sadar yakni: Pertama sadar akan citra diri yang diidam-idamkan. Kedua sadar akan kelemahan dan keunggulan diri sendiri. Ketiga sadar akan unsur-unsur yang menunjang dan menghambat dari lingkungan sekitar. Keempat sadar akan pendekatan dan metode penghambatan pribadi. Dan kelima sadar akan tokoh idaman dan panutan akan suri tauladan.

Dengan demikian seorang muslim yang melakukan istiqomah, maka ia telah melakukan sebuah usaha yang berkaitan dengan pengembangan pribadinya dan citra dirinya. Pengembangan pribadi adalah usaha terencana untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang mencerminkan kedewasaan pribadi guna meraih kondisi yang lebih baik lagi dalam mewujudkan citra diri yang diidam-idamkan. Usaha ini dilandasi oleh kesadaran bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang paling baik untuk dirinya dalam rangja mengubah nasibnya menjadi lebih baik.

Sabtu, 04 Juni 2011

Islam Bersatulah ..!


Diakui atau tidak, keberadaan umat Muslim tidak sebanyak populasi umat Non Muslim di Dunia saat ini. Akan tetapi jumlah ini akan terus berkurang jika kita tidak pandai menjaga persatuan dan kesatuan diantara sesama Muslim. Segala macam cara telah dilakukan oleh mereka yang tidak senang dengan keberadaan Islam, ditambah lagi dengan berbagai konflik yang terjadi dengan sesama muslim sendiri. Seolah menjadi sasaran empuk bagi mereka untuk memecah belah.

Populasi Muslim di dunia adalah sekitar satu miliar. 30% Muslim tinggal di anak benua India, 20% di Sub-Sahara Afrika, 17% di Asia Tenggara, 18% di Dunia Arab, 10% di Uni Soviet danCina. Turki, Iran dan Afghanistan terdiri dari 10% di Timur Tengah non-Arab. Meskipun adaminoritas Muslim di hampir setiap bidang, termasuk Amerika Latin dan Australia, mereka adalah yang paling banyak di Afrika Uni Soviet, India, dan pusat. Ada 5 juta Muslim di AmerikaSerikat.

“Hai manusia! Kami menciptakan kamu dari satu jiwa, laki-laki dan perempuan, danmembuatmu berbangsa-bangsa dan suku, sehingga Anda dapat datang untuk mengenal satu sama lain. Sungguh, yang paling terhormat di antara kamu di hadapan Allah adalah yang terbesar dari Anda dalam kesalehan. Allah Maha Mengetahui. (Qur'an, 49:13)