Senin, 25 Juli 2011

SAMBUT RAMADHAN

--> -->
Orang Muslim yang beriman adalah orang yang telah berikrar dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Taa’la dan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah utusan Allah, karena ikrar dan kesaksian inilah, kita semua kaum muslimin melakukan sholat, berpuasa, memberikan zakat dan menunaikan ibadah haji apabila mampu, semata-mata karena Allah, Tuhan yang telah memerintahkan itu semua melalui utusan-Nya.

Kesadaran akan makna ikrar dan kesaksian itulah yang kemudian mengharuskan seseorang untuk hanya mengakui superioritas dan kekuasaan Allah atas alam semesta, termasuk dirinya. Oleh karenanya, hanya kepada Allah-lah dia menghamba, mengabdi, takut, mengharap dan memohon,  menyerahkan diri dan pasrah. Hanya saja, dalam perjalanan kehidupan, kita seringkali tak menyadari dan tahu-tahu melupakan begitu saja makna ikrar dan kesaksian itu. bisa jadi kitapun tak lagi hanya mengabdi dan menyembah kepada Allah Dzat Yang Esa, tetapi uang, harta, kemewahan, pangkat dan diri sendiripun tak terasa lambat laun kita pertuhankan. Naudzu billah himin dzalik...

Sahabat Salman RA menceritakan, bahwa rasulullah SAW pernah berpidato di hadapan para sahabatnya pada hari terakhir bulan Sya’ban, dalam rangka menyongsong datangnya bulan suci Ramadhan. Beliau antara lain bersabda :

“Wahai orang-orang, telah datang kepada kalian bulan yang agung, bulan penuh berkah, dimana di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Bulan dimana Allah mewajibkan puasa dan menganjurkan njungkung, melakukan ibadah sunnah di malam harinya. Barang siapa melakukan pendekatan diri kepada Allah di bulan ini dengan mengerjakan suatu perbuatan baik atau menunaikan suatu kewajiban, maka sama halnya dengan menunaikan tujuh puluh kewajiban disaat-saat lain. Bulan ini adalah bulan bersabar , sedangkan bersabar adalah surga. Bulan ini adalah bulan kebersamaan. Bulan dimana rizqi orang mukmin bertambah; barang siapa yang memberi buka kepada orang-orang yang berpuasa, berarti melebur dosa-dosanya, dan membebaskannya dari api neraka, dan orang yang memberi buka itu sendiri mendapatkan pahala yang sama, tanpa berkurang sedikitpun”.

Para sahabat berkata, “ tidak semua kita mampu menyediakan buka bagi orang yang berpuasa ”, Wahai Rasulillah .........

Nabipun bersabda, “ Allah memberikan pahala ini kepada orang yang memberi buka, meskipun hanya dengan sebuah kurma, seteguk air, atau hanya secicipan susu. Bulan ini adalah bulan yang awalnya adalah rahmat, tengahnya berupa ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka; barang siapa meringankan beban buruhnya dibulan ini, Allah akan mengampuninya dan membebaskannya dari siksa api neraka. Maka perbanyaklah dibulan ini, melakukan empat hal : dua diantaranya akan membuat Tuhan kalian ridlo dan dua yang lainnya merupakan kebutuhan kalian yang tidak dapat kalian abaikan.

Dua hal yang akan membuat Tuhan kalian ridlo adalah bersahadat, dan beristighfar, memohon ampun kepada Nya. Sedangkan dua hal yang lainnya adalah yang tidak dapat kalian abaikan adalah ; memohon surga kepada Allah dan memohon perlindunganNya dari api neraka.

أشــهد أنّ  لا اله إ لاّ الله . أســتغفر الله. اســئلك رضــاك والـجــنّة
واعوذبك من سخـــتك والنــاّر

Demikian kira-kira do’a yang patut kita pohonkan kepada-Nya.
Barang siapa yang membuat kenyang orang yang berpuasa di bulan ini, Allah akan memberinya minum dari telaga-Ku, (kata Rasulillah) minuman yang tidak akan kehausan selamanya”.
Allah SWT berfirman :
 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 183)
Dalam kaitan ibadah puasa Nabi Muhammad Saw bersabda :

من صــام رمضــان إيـمــانا واحتســابا عفـر له تقدّم من ذينه

Artinya : ”Barang siapa berpuasa dibulan Ramadlon dengan penuh keimanan dan mengharap ganjaran Allah , maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lewat”.                                                                                                                                                        

فقد قال النّبىّ صلى الله علـــيه وسلــّم : كــم من صــائم ليــس له من صيامه إ لاّ  الجوع والعطش. وقال النّبى صلىّ الله عليه وسلّم : من لم يدع قــول الزّو ر والعــمل به فلــيس لله حــاجة  أن يدع  طــعامه وشــر ابه 

Artinya : ”Banyak sekali orang yang melakukan puasa, tetapi tidaklah ada bagi puasanya kecuali ia hanya mendapatkan lapar dan dahaga”. Rasulillah kemudian juga bersabda : “Barang siapa tidak meninggalkan ucapan kebohongan dan mengamalkannya, maka tidaklah ada hajat/ kebutuhan Allah atas puasa seseorang”.

Apabila beberapa dalil ini kita rangkai, maka akan dapat ditarik kesimpulan bahwa : puasa kita bukanlah sekedar tidak makan dan tidak minum, tetapi ada target yang mesti harus kita raih yakni tingkat ketaqwaan yang utuh. Yang dapat membebaskan hawa nafsu yang binal.
 Lalu kemudian pertanyaan yang kemudian muncul adalah;  bagaimana seharusnya kita menyikapi puasa ini agar dapat mencapai target dimaksud ?

Di dalam kehidupan kita, manusia banyak memiliki kebutuhan. Secara garis besar, kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan pada lima kebutuhan pokok yaitu : (1) Kebutuhan Fa’ali yakni makan, minum dan hubungan seksual. (2) Kebutuhan akan ketentraman dan keamanan. (3) Kebutuhan akan keterikatan pada kelompok. (4) Kebutuhan akan rasa penghormatan; dan (5) Kebutuhan akan pencapaian cita-cita. Dalam ukuran yang lazim, kebutuhan kedua dan seterusnya terasa tidak begitu mendesak sebelum kebutuhan pertama terpenuhi. Bahkan banyak sekali orang yang rela mengorbankan kebutuhan-kebutuhan tersebut demi memenuhi kebutuhan dasarnya yang pertama. Sebaliknya seseorang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan yang pertama, maka akan dengan mudah mengendalikan kebutuhan-kebutuhannya yang berada dalam posisi berikutnya.

Dalam berpuasa seseorang berkewajiban mengendalikan dirinya dari kebutuhan Fa’ali tersebut, dalam arti tidak makan, tidak minum, dan meninggalkan hubungan seksual dalam batas waktu tertentu. Dengan ini, dalam berpuasa seseorang dituntut untuk berlatih “sabar” sekaligus berusaha mengembangkan potensinya, agar mampu membentuk dirinya sesuai dengan peta Tuhan, dengan jalan mencontoh Tuhan dalam sifat-sifat-Nya. Dan karena itu, Rasulullah Saw. bersabda : “Berakhlaqlah (bersifatlah) kamu sekalian dengan sifat-sifat Tuhan”.

Kalau ditinjau dari segi hukum berpuasa, sekaligus esensi makna  yang terkandung di dalamnya, maka sifat-sifat Tuhan yang harus kita teladani dalam berpuasa antara lain :

1.       Sifat Al-Rozzaq, Allah Dzat pemberi rizki, tetapi Ia tak butuh makan dan minum

2.       Allah Maha Esa, Ia tidak membutuhkan teman hidup, termasuk istri. Sifat kedua ini terpilih untuk kita teladani, karena kaduanya merupakan kebutuhan Fa’ali manusia yang terpenting. Dan keberhasilan dalam pengendaliannya mengantarkan kita kepada kesuksesan mengendalikan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Kesuksesan tersebut, tentunya harus didukung pula dengan upaya meneladani sifat-sifat yang lainnya seperti :


3.       Sifat Pengampun dan Maha Penyayang

4.       Sifat “Rahman - Rahiem” Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.


5.       Al-Kholiq, sifat Maha berkreasi, dan bahwa “Dia setiap saat dalam pekerjaan”. Sebagaimana Firman-Nya dalam surat Al-Rahman : 29 :
Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadanya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan[*].

[*] Maksudnya: Allah Senantiasa dalam Keadaan Menciptakan, menghidupkan, mematikan, Memelihara, memberi rezki dan lain lain.

6.       Allah bersifat “Al-Hayyu” Maha Hidup”. Kita dituntut untuk meneladaninya dengan tetap “menghidupkan nama baik” secara berkesinambungan, hingga setelah seseorang meninggalkan dunia yang fana ini sekalipun. Dan seterusnya dan sebagainya.

Dengan demikian, dengan mencontoh sifat-sifat Tuhan dan mengimplementasikannya, berarti kita berikhtiyar menbangun dan memakmurkan bumi ini, sebagai tanggung jawab kekhalifahan, sehingga pada akhirnya bumi ini menjadi “Bayang-Bayang Surga” yang penuh dengan keamanan dan kedamaian, serta pemenuhan segala kebutuhan hidup manusia, seperti sandang, pangan, dan papan.

Seseorang yang berusaha meneladani Tuhan melalui sifat-sifat-Nya, digambarkan oleh Filosof Muslim Ibnu Sina sebagai berikut :

“Seseorang yang bebas dan merdeka dari ikatan raganya, semuanya dianggap sama. Karena memang semuanya sama. Semua mahluk Tuhan wajar mendapatkan rahmat, baik mereka yang taat maupun yang bergelimang dosa. Dia tidak akan mengintip-intip atau meneliti kelemahan dan kesalahan orang lain. Dia tidak akan marah atau tersinggung ketika kemaksiatan berkobar dan merajalela, karena jiwanya diliputi oleh rahmad dan kasih sayang, dan karena Ia memandang “Sirrullah” (Rahasia Tuhan) terbentang di dalam kodratnya. Apabila ia mengajak kepada kebaikan, maka ia mengajaknya dengan lemah lembut penuh kebijaksanaan, tidak dengan kekerasan, dan juga tidak dengan kecaman atau kritik. Ia akan selalu menjadi dermawan, betapa tidak, sedangkan cintanya kepada benda tidak berbekas lagi. Ia akan selalu pemaaf. Betapa tidak, karena dadanya terlalu lapang, sehingga mampu menampung segala kesalahan orang. Ia tidak akan mendendam. Betapa tidak, karena seluruh ingatannya hanya tertuju kepada yang satu, Allah Swt.”

Imam Al-Hasan Al-Bashri juga menggambarkan keadaan orang yang berhasil meneladani Tuhan, sehingga tingkat “Taqwa” yang “Haqqa tuqaatih” dengan ungkapan beliau : “Anda akan menjumpai orang tersebut; teguh dalam keyakinan, teguh tapi bijaksana, tekun dalam menuntut ilmu, semakin berilmu semakin merendah, semakin berkuasa semakin bijaksana, tampak wibawanya di depan umum, jelas syukurnya dikala beruntung, menonjol “Qona’ah” atau kepuasannya dalam pembagian rezeki, senantiasa berhias walaupun miskin, selalu cermat, tidak boros sekalipun kaya, murah hati dan ringan tangan, tidak menghina, tidak mengejek, tidak menghabiskan waktu dalam permainan, dan tidak berjalan membawa fitnah, disiplin dalam tugasnya, tinggi dedikasinya, serta terpelihara identitasnya, tidak menuntut yang bukan haknya, dan tidak menahan hak orang lain. Kalau ditegur ia menyesal, kalau bersalah ia istighfar, bila dimaki ia tersenyum sambil berkata : “Jika makian anda benar, maka aku bermohon semoga Tuhan mengampuniku”. Dan jika makian anda keliru, maka aku bermohon semoga Tuhan mengampunimu”. Itulah target puasa kita, maraih “ Hakekat ketaqwaan yang sejati”

Mudah-mudahan puasa yang kita laksanakan, mampu mengantarkan kita kepada makna “Taqwa Yang Sejati”, ketaqwaan yang mempunyai ciri yang sangat luas, seluas samudra pemahaman, sebagaimana halnya dengan Al-Shirootol Mustaqiem (jalan yang luas lagi lurus) sehingga karena keluasan dan kelurusannya ia dapat menampung banyak jalan yang berbeda-beda  selama jalan tersebut penuh dengan kedamaian. Allah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 16 :

يهدى به الله من اتّبع رضوانه سبل السّلم ويخرجهم من الظّلمت
الى النّور باذنه. ويهــديهم الى صر اط مّســتقيم (المائدة : 16)

Artinya : "Tuhan memimpin (dengan kitab suci Al- Qur’an), memberikan petunjuk kepada orang-orang yang mengikuti keridloan-Nya menuju jalan-jalan kedamaian, mengeluarkan mereka dari gelap gulita menuju cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjukin mereka kejalan yang lurus”.
Ini berarti bahwa perbedaan-perbedaan jalan selalu dapat ditampung oleh “Al-Shirath Al-Mustaqiem”, selama jalan-jalan tersebut bercirikan kedamaian, ketenteraman, keamanan, keselamatan dan akhirnya menuju kebahagiaan yang haqiqi.

“Mudah-mudahan kita mampu menempuhnya...” Amiin 3X Yaa ... Robbal ‘Alamiin...