Kamis, 17 Februari 2011

Membangun Jiwa


Assalamu alaikum ……. sahabat, semoga kita semua selalu berada dalam lindungan Allah yang Maha kuasa.

Pada tulisan kali ini saya ingin sedikit menceritakan sebuah kegiatan yang sedang hangat-hangatnya dikampung saya. Baru-baru ini telah resmi dibuka untuk umum sebuah lapangan Badminton. Lapangan yang berada diwilayah Desa Cibuntu RT. 07/03 ini memang hasil kerjasama terpadu antara pemuda dan tokoh masyarakat. Ditambah lagi ada aliran dana dari pemerintah DISORDA (Dinas Olah Raga dan Pemuda) Provinsi Jawa Barat melalui acara Kemah Bhakti Pemuda yang dilaksanakan di Desa Cibuntu pada Tanggal 22-25 Nopember 2010. Al hasil sekarang para pemuda memiliki tambahan sarana olah raga yang menjadi kebanggaan dikampung saya.

Dari sejak peresmian, lapangan tidak pernah sepi setiap malamnya. Apalagi disekitar lapangan Badminton disediakan pula lapangan tenis meja dan 2 buah papan catur …. Hmmm … seru juga yaa. Adalah Pa Sarbini seorang tokoh masyarakat yang bersedia memberikan halamannya untuk dijadikan lapangan tersebut. Bukan hanya kebetulan, karena selain menyalurkan hobi olah raganya Pa Sarbini bisa mendapatkan tambahan dengan membuka warung kecil yang menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang bermain atau hanya sekedar nonton pertandingan.

Saya adalah termasuk yang ikut merasakan dan meramaikan lapangan baru itu. Orang bilang sih “biasa asal ada yang baru juga, nanti juga lama-lama menghilang”. Tapi semoga saja itu tidak terjadi terutama untuk para pemuda yang saat ini sedang giat-giatnya. Siapa yang tahu esok hari nanti salah satu atlet nasional Indonesia itu berasal dari kampung saya. Aamiin.

Nah … selain adanya lapangan baru tersebut, dikampung kami juga sedang sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk perbaikan Masjid Jami’ Al-Ikhlas yang memang letaknya tidak jauh dari lapangan Badminton tersebut. Disini kembali seluruh masyarakat harus berjibaku dan bahu-membahu sekuat tenaga untuk turut mensukseskan perbaikan masjid yang rencananya akan membangun kubah dan menara sebagai syimbol dan ciri khas dari sebuah masjid. Orang tua dan pemuda kembali harus berjaalan beriringan didalam pencaraian dana maupun pengerjaannya.

Berbagai persiapan telah dilakukan dimualai dari membuat proposal pembangunan, mencari kontraktor bangunan dan lain-lainnya yang berhubungan dengan pembangunan. Dalam pikiran saya dan teman para pemuda adalah kalau kita bisa membuat sarana olah raga masa kita tidak bisa memperbaiki sarana olah jiwa.

Dari pemamparan diatas, barang kali sudah sama-sama jelas fungsi dari kedua sarana yang kami kerjakan itu. Lapangan Badminton memang sebagai sarana olahraga dimana seluruh masyarakat bisa menggunakannya untuk kebutuhan dan kesehatan disamping mencari bakat-bakat yang bisa lebih diarahkan. Sementara masjid sebagai pusat tempat kegiatan beribadah bagi umat Islam, pendidikan dan kegiatan keagamaan lainya, selain itu masjid juga dapat digunakan sebagai media informasi keagamaan untuk menjadikan manusia yang beriman, bertaqwa kepada Allah SWT, berkualitas, berdaya guna serta berakhlaqul karimah. Singkatnya kalau Lapangan Badminton untuk kesehatan badan sedangkan masjid untuk kebutuhan jiwa, walaupun keduanya bisa behubungan erat.

Adanya lapangan dan masjid adalah salah satu dari sekian banayak sarana untuk mendukung pembangunan jasmani dan pembangunan ruhani. Tentu akan sangat luas jika kita harus memaparkan apa saja sarana-sarana yang mendukung akan hal itu secara keseluruhan. Yang jadi sorotan pada tulisan ini adalah bagaimana kita menyeimbangkan pembangunan jasmani dengan pembanguanan ruhani kita. Mana yang harus didahulukan? Dan seperti apa realita dimasyarakat? Mari kita tinjau lebih dekat lagi pembangunan ruhani dan pembangnan jasmani tersebut.


Membangun ruhani (jiwa) pada hakekatnya adalah merupakan prioritas yang semestinya kita dahulukan dari pada membangun raga atau bandan kita. Wage Rudolf Supratman dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya menyebutkan ;” Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya !” begitulah antara lain, kita bangsa Indonesia selalu menyanyi. Dalam sudut pandang yang lain, jika kita tengok kembali lima tujuan prinsip dalam pencanangan syari’at Islamiyyah atau yang biasa disebut dengan “Maqaashid Al-Syari’ah Al-Khams” yaitu memelihara dan memberikan perlindungan – dalam arti yang luas terhadap agama, akal, jiwa, nasab, (keturunan) dan harta benda, juga mencerminkan betapa komponen-komponen yang secara bulat berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan lebih mendapat perhatian yang besar.
Namun realita yang terjadi terkesan kita hanya mengurusi raga dan melupakan jiwa. Apakah karena terlalu populernya ‘semboyan olah raga’ “Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat” atau karena penekanan pembangunan kita yang terlalu bertumpu pada sektor ekonomi ? mari kita cari jawabannya bersama-sama . . .  !
Jika kita mengkalkulasi kesibukan dan aktifitas kita sehari-hari, berapa persenkah jatah untuk dan dalam rangka mengolah jiwa, bila kita bandingkan dengan prosentase bagi membangun dan memanjakan raga-raga kita ? lihatlah super-super market, pasar-pasar swalayan, restoran-restoran yang terus tumbuh dan berkembang dan selalu kita padati demi pemanjaan terhadap raga-raga kita. Saksikanlah pula iklan-iklan yang setiap saat dijejalkan kerumah-rumah kita  melalui telivisi, radio, majalah-majalah dan lain sebagainya, mulai dari rokok, segala jenis makanan dan minuman, berbagai jenis pakaian dan perumahan indah, hingga segala macam alat kosmetika dan penyedap bau badan, yang hampir semuanya menina bobokkan kita sehingga kita lupa untuk ngopeni kegersangan jiwa kita.

Dari sinilah terbukti kiranya kebenaran Al-Qur'an yang menyebutkan bahwa “manusia” menurut penciptanya sendiri memang menyenangi kehidupan dunia dan cenderung mengabaikan akhirat. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur'an :
Artinya : “Sekali-kali janganlah demikian, Sebanarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia, dan meninggalkan kehidupan akherat” (QS. Al-Qiyamah : 20 dan 21)
Bahkan manusia, seperti juga difirmankan penciptanya Allah Swt. terpedaya dan menganggap baik atas segala kesenangan mereka sendiri. sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 14 :     
Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkannya yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, (mas picis – rojobrono), kuda atau mobil pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allahlah tempat kembali yang baik yakni (surga)”.
Semua sifat-sifat manusia ini, ditambah lagi dengan “perangai-perangai dasar” manusia seperti kecenderungan mereka untuk berlebih-lebihan, suka segera enak, egois, pelupa dan lain sebagainya membuat kecenderungan mereka untuk semata-mata menikmati kesenangan hidup di dunia menjadi semakin total, nyata dan mudah menjadi keniscayaan. Dan oleh karenanya, tidaklah heran jika kemudian yang terjadi adalah; budaya-budaya semacam matrealisme, konsumerisme, hedonisme dan lain sebagainya laku keras dan mendapat antusias lebih dikalangan makhluk yang bernama “manusia” ini.
Faham-faham inilah, yang percaya atau tidak menjadikan manusia yang “Ahsani taqwim” ini menjadi lebih mirip hayawan ternak bahkan lebih rendah daripadanya. Naudzubillahimindzalika.... Sehingga tokoh-tokoh semacam Fir’aun cs, Qorun, Abu Jahal cs dan semisalnya menjadi idola-idola mereka. Fir’aun yang sampai mengaku menjadi Tuhan dan membunuhi rakyatnya, qorun yang juga memproklamirkan diri sebagai Tuhan karena kekayaannya yang dapat menghidupi pengikutnya, Abu Jahal, Abu Lahab dan kaum jahiliyah yang bangga terhadap berhala dan harta benda, kaum ‘Ad, Tsamud kaum Sodom dan sebagainya yang angkuh dan tak tahu malu, mereka semua seenaknya sendiri merampas hak orang lain, tega membunuh saudara sendiri, yang sudah terhormat masih juga nyolong, yang sudah kaya malah semakin serakah, yang dengan bangga membabati dan mengeruk kekayaan negara, suami yang tak risih menjual istrinya, ibu tega menjual diri dan anaknya, mereka yang senang menjilat yang kuat dan menginjak yang lemah dan seterusnya dan sebagainya, itu semua tidak lain adalah karena akibat dan gara-gara mengikuti faham-faham di atas, dan memburu kesenangan-kesenangan duniawi.
Ketika kehidupan masyarakat kita sudah sedemikian adanya, maka patutlah kiranya kita menyadari bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan belaka dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Dan kitapun tahu bahwa kehidupan dunia ini tidaklah lain hanyalah kesenangan yang menipu, dan diakherat nanti ada adzab yang keras.
Bagi umat Rasulillah Saw yang mengimani hari akhir dan memandang dunia ini hanyalah “Mazratul Akhirah” (tempat menanam kebaikan akherat), haruslah menyadari bahwa kecenderungan dari dalam diri dan gebyar iming-iming dari luar yang menunjangnya adalah merupakan adalah fitnah, ujian dan cobaan.
Tinggal kita kuat menghadapi cobaan itu atau tidak, bisa lulus ujian atau tidak, itu semua tentunya sangat tergantung pada sejauhmana kesanggupan dan kemampuan kita untuk mengendalikan faktor-faktor kecenderungan dan kuatnya godaan dari “dalam” atau pengaruh kemilau dari “luar”. Kunci suksesnya adalah terletak pada keberhasilan kita dalam melakukan “olah jiwa” secara terpadu dan kompatibel atau harmonis. Yaach . . .  paling tidak kita dapat mengimbangi berbagai kecenderungan tersebut dengan “Hasanah fil akherat”.
Sehubungan dengan hal itu, ketika kita mengulang-ulang do’a paten “sapu jagad” kita
“Robbanaa aatinaa fidunya hasanah, wa fil aklhirati hasanah, wa qinaa adzaaban naar”
Kitapun sadar, bahwa sesungguhnya kita sedang memohon kesenangan di dunia dan kesenangan diakherat. Tetapi kitapun harus tahu, bahwa sesungguhnya “Hasanah fid dunya” yang sering kita artikan dengan bahagia, sejahtera dan senang sesenang-senangnya di dunia, belum tentu merupakan sarana untuk memperoleh “Hasanah fil akhirah”, sebab, tentunya tidak bisa disebut “Hasanah fid dunya” jika mengakibatkan “Sayyi’ah fil akherat” kesengsaraan dihari kemudian. Walllahu A’lam bis shawab….