Manusia tidak bisa menghindar dari berbicara, dan bahkan cara
berbicara manusia akan mencerminkan kualitas intelektualitas dan
lingkungan dirinya. Agama Islam mengajarkan tatakrama berbicara
sebagai berikut:
1. Pembicaraan hendaknya mengarah kepada kebaikan, karena Rasulullah
bersabda: Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaknya ia berkata yang baik-baik, atau berdiam diri saja. (H.
Muttafaq `alaih)
2. Menjauhkan diri dari pembicaraan yang bathil. Hadis riwayat
Abdullah bin Mas`ud menyebutkan bahwa manusia yang paling besar
dosanya di hari kiamat ialah orang yang paling banyak bicaranya soal
kebatilan.
3. Meskipun berada di pihak yang benar, hendaknya tetap menghindari
pertengkaran. Rasulullah pernah bersabda: Aku adalah pemimpin suatu
rumahtangga di taman sorga yang diperuntukkan bagi orang-orang yang
menghindari pertengkaran meski berada di pihak yang benar. (Sahih al
Jami`, 1477)
4. Menjauhi pembicaraan yang berlebihan. Rasulullah pernah bersabda:
Bahwa orang yang paling aku benci dan paling jauh tempatnya dariku
nanti di hari kiamat adalah orang yang suka bicara banyak, yang suka
membuat-buat dan yang pembicaraannya penuh kesombongan. (Silsilah
sahihah, 791)
5. Memperhatikan pembicaraan lawan bicara, tidak memotong pembicaraan
orang, tidak mendengar sambil main-main dan tidak mengalihkan
perhatiannya ke hal lain. Ketika haji wada` Rasulullah pernah
berkata: Tolong, orang-orang supaya diam mendengarkan (kata-kataku).
(H. Muttafaq `alaih)
6. Menjauhi kata-kata yang sifatnya menghujat dan menjelek-jelekkan
orang lain, karena hal itu akan mendatangkan banyak mudlarat. Firman
Allah, Artinya: Janganlah sebagian kamu mengupat sebagian yang
lainnya, apakah salah seorang diantaramu sudi memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian jijik memakannya. (al
Hujurat: 12)
Menurut Abu Hurairah, Rasulullah pernah menyebutkan bahwa; mengumpat
(ghibah) itu menyebut sesuatu pada orang lain yang ia tahu bahwa apa
yang disebutkan itu pasti tidak disukai oleh orang yang diceriterakan
itu. Jika yang dikatakan itu benar, kata Rasulullah, hal itu disebut
ghibah, jika tidak benar berarti dusta. (HR. Muslim)
7. Menjauhi pembicaraan yang berakibat adu domba atau memecah belah
(namimah), yakni menyebarkan kebohongan, kebencian dan fitnah antara
sesama manusia. Rasulullah pernah bersabda: Tidak akan masuk sorga
tukang pemecah belah manusia. (HR.Muslim)
8. Tidak menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya, tidak pula
menceriterakan rahasia orang lain tanpa seizin yang mempunyai
rahasia. Rasulullah pernah bersabda: Cukup seseorang dipandang
sebagai pembohong jika ia menceriterakan segala apa yang didengarnya.
(HR. Muslim)
Allah berfirman: Artinya: Tidak ada yang ke luar dari ucapan
seseorang melainkan dicatat oleh malaikat Raqib dan Atid. (Q/s.Qaf:
18)
9. Apabila merasa perlu untuk mengkoreksi kesalahan orang lain, maka
hendaklah dilakukan dengan bijaksana dan kasih sayang, tidak dengan
emosionil, tidak konfrontatif, tidak meremehkannya atau
membohonginya. Bersikaplah proporsionil, tidak main-main ketika ia
harus serius, dan tidak tertawa-tawa ketika harus berduka cita.
berbicara manusia akan mencerminkan kualitas intelektualitas dan
lingkungan dirinya. Agama Islam mengajarkan tatakrama berbicara
sebagai berikut:
1. Pembicaraan hendaknya mengarah kepada kebaikan, karena Rasulullah
bersabda: Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaknya ia berkata yang baik-baik, atau berdiam diri saja. (H.
Muttafaq `alaih)
2. Menjauhkan diri dari pembicaraan yang bathil. Hadis riwayat
Abdullah bin Mas`ud menyebutkan bahwa manusia yang paling besar
dosanya di hari kiamat ialah orang yang paling banyak bicaranya soal
kebatilan.
3. Meskipun berada di pihak yang benar, hendaknya tetap menghindari
pertengkaran. Rasulullah pernah bersabda: Aku adalah pemimpin suatu
rumahtangga di taman sorga yang diperuntukkan bagi orang-orang yang
menghindari pertengkaran meski berada di pihak yang benar. (Sahih al
Jami`, 1477)
4. Menjauhi pembicaraan yang berlebihan. Rasulullah pernah bersabda:
Bahwa orang yang paling aku benci dan paling jauh tempatnya dariku
nanti di hari kiamat adalah orang yang suka bicara banyak, yang suka
membuat-buat dan yang pembicaraannya penuh kesombongan. (Silsilah
sahihah, 791)
5. Memperhatikan pembicaraan lawan bicara, tidak memotong pembicaraan
orang, tidak mendengar sambil main-main dan tidak mengalihkan
perhatiannya ke hal lain. Ketika haji wada` Rasulullah pernah
berkata: Tolong, orang-orang supaya diam mendengarkan (kata-kataku).
(H. Muttafaq `alaih)
6. Menjauhi kata-kata yang sifatnya menghujat dan menjelek-jelekkan
orang lain, karena hal itu akan mendatangkan banyak mudlarat. Firman
Allah, Artinya: Janganlah sebagian kamu mengupat sebagian yang
lainnya, apakah salah seorang diantaramu sudi memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian jijik memakannya. (al
Hujurat: 12)
Menurut Abu Hurairah, Rasulullah pernah menyebutkan bahwa; mengumpat
(ghibah) itu menyebut sesuatu pada orang lain yang ia tahu bahwa apa
yang disebutkan itu pasti tidak disukai oleh orang yang diceriterakan
itu. Jika yang dikatakan itu benar, kata Rasulullah, hal itu disebut
ghibah, jika tidak benar berarti dusta. (HR. Muslim)
7. Menjauhi pembicaraan yang berakibat adu domba atau memecah belah
(namimah), yakni menyebarkan kebohongan, kebencian dan fitnah antara
sesama manusia. Rasulullah pernah bersabda: Tidak akan masuk sorga
tukang pemecah belah manusia. (HR.Muslim)
8. Tidak menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya, tidak pula
menceriterakan rahasia orang lain tanpa seizin yang mempunyai
rahasia. Rasulullah pernah bersabda: Cukup seseorang dipandang
sebagai pembohong jika ia menceriterakan segala apa yang didengarnya.
(HR. Muslim)
Allah berfirman: Artinya: Tidak ada yang ke luar dari ucapan
seseorang melainkan dicatat oleh malaikat Raqib dan Atid. (Q/s.Qaf:
18)
9. Apabila merasa perlu untuk mengkoreksi kesalahan orang lain, maka
hendaklah dilakukan dengan bijaksana dan kasih sayang, tidak dengan
emosionil, tidak konfrontatif, tidak meremehkannya atau
membohonginya. Bersikaplah proporsionil, tidak main-main ketika ia
harus serius, dan tidak tertawa-tawa ketika harus berduka cita.