Minggu, 20 Juni 2010

JANGAN TAKUT.........!!!!

Dalam kesempatan ini saya ingin mengajak anda untuk sama-sama merenungi sebuah ayat dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman :

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ
الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” ( Al Baqarah : 155)
Dari ayat diatas kita mendapat informasi bahwa Allah SWT akan menguji manusia tanpa kecuali. Ujian itu bisa berupa kesusahan seperti yang disebutkan diatas dan bisa juga berupa kebahagiaan. Allah SWT akan memeberikan pahala bagi mereka yang bersabar.Oleh karena itu, saya pikir manusiawi jika kita khawatir dan ketar-ketir ketika dihadapakan dengan masalah krisis ekonomi. Jika kita seorang karyawan, takut di PHK….Jadi pejabat, takut hilang jabatannya…..Jadi pengusaha dan pedagang, takut bangkrut….Jadi pegawai negeri, takut dimutasi ketempat terpencil dan lain-lain. Segala bentuk kekhawatiran dan ketakutan itu wajar-wajar saja selama tidak berlebihan sehingga kita tidak bergantung sepenuhnya kepada profesi dan pekerjaan kita, seolah-olah Allah SWT tidak pernah campur tangan. Hal terpenting yang harus kita yakini adalah bahwa tidak semata-mata Allah SWT menciptakan satu makhluk melainkan beserta rizkinya. Nah coba simak kisah dibawah ini.
Dalam sebuah riwayat, diceritakan Nabi SAW mengundang para sahabat untuk menghadiri walimatul ursy yang diadakan beliau dengan seorang wanita yang menjadi istrinya. Para sahabat hadir dan begitu mereka menyaksikan tentang rupa makanan yang dijamukan oleh Rasulullah SAW, mereka tak tahan untuk tidak memperbincangkannya. " Darimana Rasulullah SAW akan mampu memenuhi kebutuhan hidup daripara istri-istrinya ? coba lihat, jamuan walimahnya saja cuma seperti itu ?" Rasulullah SAW diam saja.Beliau bukan tidak tahu apa yang diperbincangkan oleh para sahabat saat itu. Usai menunaikan sholat, Rasulullah SAW menceritakan suatu kisah kepada para sahabat yang hadir. " Aku ingin menceritakan suatu kisah perihal rejeki kepada kalian. Kisah ini diceritakan oleh malaikat Jibril kepadaku. Bolehkah aku meneruskan kisah ini kepada kalian ?" Rasulullah SAW kemudian memulai kisahnya. "Suatu ketika Nabi Sulaiman a.s melakukan sholat ditepi pantai. Usai sholat, beliau melihat ada seekor semut sedang berjalan di atas air sambil membawa daun hijau. Beliau yang mengerti bahasa binatang mendengar si semut memanggil-manggil si katak. Tak berapa lama kemudian, lalu seekor katak muncul. ada apa gerangan dengan si katak itu sehingga si semut terus-menerus memanggilnya tadi ? Nabi Sulaiman menyaksikan bahwa begitu si katak muncul, katak itu langsung saja menggendong sang semut masuk ke dalam air menuju dasar laut. Ada apa di dasar laut ? semut itu menceritakan kepada Nabi Sulaiman a.s bahwa di sana ada berdiam seekor ulat. Sang ulat menggantungkan rejekinya kepada si semut. " Sehari dua kali aku diantar oleh malaikat ke dasar laut untuk memberi makanan kepada ulat itu ". Demikian si semut memberikan penjelasannya kepada Nabi Sulaiman a.s. " Siapakah malaikat itu, hai semut ?" tanya Nabi Sulaiman kepada si semut dengan penuh selidik. " Si katak sendiri. Malaikat menjelmakan dirinya menjadi katak yang kemudian mengantarkan aku menuju dasar laut ". Setiap selesai menerima kiriman daun hijau dan melahapnya, si ulat tak lupa memanjatkan rasa syukur kepada Allah SWT, " Maha Besar Allah yang men-takdir-kan aku hidup di dasar laut ". Dalam mengakhiri ceritanya itu, Rasulullah SAW memberi pandangannya. " Jika ulat saja yang hidupnya di dasar laut, Allah SWT masih tetap memberinya makanan, maka apakah Allah SWT tega menelan tarkan umat Muhammad soal rejeki dan rakhmatnya ?"
Nah sahabatku semua, mudah-mudahan kisah yang diceritakan Rasulalloh SAW diatas dapat menambah keimanan kita kepada Allah SWT. Kita harus yakin bahwa tidak ada satu binatang melatapun didunia ini yang tidak diberi rizki oleh-Nya.......

Bekasi, 13 Juni 2010
Jaka Suganda

Minggu, 06 Juni 2010

TAUBAT SEJATI SEORANG PEMUDA


Imam Malik bin Dinar mengajari kita dalam bagian ini tentang seorang pemuda kecil di waktu haji, dengan bertutur,

"Ketika kami mengerjakan ibadah haji, kami mengucapkan talbiyah dan berdoa kepada Allah, tiba-tiba aku melihat pemuda yang masih sangat muda usianya memakai pakaian ihram menyendiri di tempat penyendiriannya tidak mengucapkan talbiyah dan tidak berdzikir mengingat Allah seperti orang-orang lainnya. Aku mendatanginya dan bertanya, 'mengapa dia tidak mengucapkan talbiyah ?'"

Dia menjawab, "Apakah talbiyah mencukupi bagiku, sedangkan aku sudah berbuat dosa dengan terang-terangan. Demi Allah! Aku khawatir bila aku mengatakan labbaik maka malaikat menjawab kepadaku, 'tiada labbaik dan tiada kebahagiaan bagimu'. Lalu aku pulang dengan membawa dosa besar."

Aku bertanya kepadanya, "Sesungguhnya kamu memanggil yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Dia bertanya, "Apakah kamu menyuruhku untuk mengucapkan talbiyah? "

Aku menjawab, "Ya."

Kemudian dia berbaring di atas tanah, meletakkan salah satu pipinya ke tanah mengambil batu dan meletakkannya di pipi yang lain dan mengucurkan air matanya sembari berucap, "Labbaika Allaahumma labbaika, sungguh telah kutundukkan diriku kepada-Mu dan badan telah kuhempaskan di hadapan-Mu."

Lalu aku melihatnya lagi di Mina dalam keadaan menangis dan dia bekata, "Ya Allah, sesungguhnya orang-orang telah menyembelih kurban dan mendekatkan diri kepada-Mu, sedangkan aku tidak punya sesuatu yang bisa kugunakan untuk mendekatkan diri kepadamu kecuali diriku sendiri, maka terimalah pengorbanan dariku. Kemudian dia pingsan dan tersungkur mati. Akupun mohon kepada Allah agar dia mau menerimanya.

Sumber: Asyabalunal 'Ulama (65 Kisah Teladan Pemuda Islam Brilian), Muhammad Sulthan.

MENUNGGANG KUDA DIATAS AIR


Diriwayatkan dari Saham bin Munjab, dia berkata, "Dalam peperangan di wilayah Darain (nama tempat di sekitar Bahrain) Al-Ala bin Al-Hadhrami bersama-sama kami. Al-Ala memanjatkan tiga macam doa, dan ketiga doa itu dikabulkan oleh Allah SWT."

"Kemudian, kami berjalan bersama-sama sehingga tiba di suatu tempat. Kami mencari air untuk wudu tetapi tidak mendapatkannya. Lalu, Al-Ala bin Al-Hadhrami berdiri untuk mengerjakan salat dua rakaat, kemudian berdoa, 'Ya Allah, Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Wahai Yang Mahatinggi dan Mahaagung. Sesungguhnya kami adalah hamba-hamba-Mu yang sedang dalam perjalanan untuk memerangi musuh-Mu. Turunkanlah hujan kepada kami, agar kami dapat minum dan berwudu dari najis. Jika kami telah meninggalkan tempat itu, janganlah ada seorang pun yang engkau beri jatah dari air hujan itu'."

"Belum jauh jarak jalan yang kami tempuh, kami tiba di sebuah sungai deras yang airnya berasal dari air hujan. Dia berkata, 'Kita berhenti di sungai ini dulu untuk minum.' Aku mengisi bejanaku, lalu aku sengaja meninggalkannya di tempat itu. Aku berkata, 'Aku akan lihat, apakah betul permohonannya dikabulkan'."

"Kemudian, kami berjalan kurang lebih satu mil. Aku berkata kepada teman-temanku, 'Aku lupa, bejanaku tidak terbawa.' Aku balik lagi ke tempat itu, maka aku mendapati seolah-olah di sekitar daerah itu tidak pernah turun hujan. Selanjutnya, aku ambil bejanaku dan aku bawa serta."

"Setelah kami sampai di Darain, kami mendapati di hadapan kami terbentang sungai yang menghalangi antara kami dan pasukan musuh. Ketika itu Al-Ala memanjatkan doa lagi, 'Ya Allah, Zat Yang Mahamengetahui, Yang Mahasantun, Yang Mahaagung. Sesungguhnya kami adalah hamba-hamba-Mu, kami dalam perjalanan memerangi musuh-Mu, bukalah jalan untuk kami menuju musuh-Mu'."

"Tidak terduga kami dapat melewati sungai tersebut. Bahkan, kuda-kuda kami, satu pun, tidak basah terkena air, sehingga kami dapat berhadapan dan menyerang musuh."

"Setelah kami kembali dari peperangan, Al-Ala mengeluh sakit perut, yang membawanya meninggal dunia. Sedangkan kami tidak mendapatkan air untuk memandikan jenazahnya. Kemudian, kami kafani dengan baju yang dikenakan, lalu kami kuburkan."

"Tidak berapa lama dari perjalanan kami, kami mendpaatkan mata air. Kemudian, kami saling berkata, 'Marilah kita balik ke tempat itu untuk mengeluarkan jenazah Al-Ala dan memandikannya.' Kami semua kembali, menyusuri tempat ia dimakamkan. Ternyata kami tidak mampu menemukan makamnya, dengan demikian kami gagal memandikan jenazahnya."

"Kemudian, ada seorang laki-laki berkata, 'Aku pernah mendengar dia berdoa kepada Allah, 'Ya Allah, Zat yang Maha Mengethui, Mahasantun, dan Mahaagung, sembunyikanlah jenazahku, jangan Engkau perlihatkan auratku keada seorang pun'."

"Lalu, kami kembali dan kami meninggalkan jasad Al-Ala yang telah dimakamkan di tempat itu." (Hilyatul Aulia, 1/7).

Sumber: 99 Kisah Orang Shalih, terjemahan dari kitab Mi'ah Qishshah min Qishashish, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab

Antara Orang Kaya dengan Anak Kecil di Masjid

Suatu hari, ada orang kaya masuk masjid untuk melaksanakan salat. Ia termasuk orang saleh. Di masjid ia melihat seorang anak kecil berusia tidak lebih dari dua belas tahun sedang berdiri mengerjakan salat dengan khusyu', melakukan ruku', dan sujud dengan hening dan tenang. Tatkala anak itu selesai dari salatnya, si kaya mendekati kepadanya seraya berkata,"

"Anak siapakah kamu?"

"Aku anak yatim, aku kehilangan ayah dan ibuku."

'Maukah kamu menjadi anakku?"

Si anak berkata, "Apakah engkau akan memberiku makanan ketika aku lapar?"

Si kaya menjawab, "Ya, tentu."

"Apakah engkau akan memberiku minum saat aku haus?"

"Ya, tentu saja."

"Apakah engkau akan memberiku pakaian ketika aku telanjang?"

"Ya."

"Apakah engkau akan menghidupkanku tatkala aku sudah mati?"

"Takjublah lelaki itu seraya berkata, "Ini tidak mungkin dilakukan."

Anak kecil itu berkata, "Kalau begitu tinggalkanlah aku bersama Dzat yagn telah menciptakan aku, memberiku rizki, mematikanku kemudian menghidupkanku kembali."

Lelaki itu berkata, "Benar wahai anakku, barang siapa yang bertawakal kepada Allah pasti Dia mencukupi."

Sumber: Asyabalunal 'Ulama (65 Kisah Teladan Pemuda Islam Brilian), Muhammad Sulthan.

Selasa, 01 Juni 2010

Cara Curang Meningkatkan Pengunjung Blog

Cara Curang Meningkatkan Pengunjung Blog

NASEHAT


Dari Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari, bahwa Nabi telah bersabda, “Agama (Islam) itu adalah nasehat.” (beliau mengulanginya tiga kali), Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin, dan kaum muslimin umumnya.”
Takhrij Hadits Ringkas
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 55) di dalam Shahih-nya di dalam Kitab al-Iman: Bab Bayan Anna ad-Din an-Nashihah (II/32-Syarah an Nawawi), dari tiga jalur yang semuanya bertemu pada Suhail bin Abu Shalih dari ‘Atha’ bin Yazid al-Laitsi dari Tamim ad-Dari. Riwayat inilah yang paling masyhur dalam periwayatan hadits ini.

Sedangkan Imam Bukhari hanya menyebutkannya -dengan lafal serupa- dalam judul sebuah bab dalam Shahih-nya, yaitu Bab Qaul an-Nabi: ad-Din an-Nashihah, lilLahi, wa li Rasulihi, wa li Aimmati l-Muslimin wa ‘Ammatihim di dalam Kitab al-Iman (I/166-Fathul Bari), karena Suhail bin Abu Shalih tidak memenuhi syarat (kriteria) shahih beliau.
Riwayat yang mengisyaratkan pengulangan, dengan kalimat ‘tsalaasan‘ (mengulanginya tiga kali) pada hadits di atas, terdapat dalam riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dan inilah yang dibawakan oleh Ibnu Rajab dalam Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/202, hadits no. 7). Sedangkan Imam an Nawawi dalam al-Arbain (hadits no.7) membawakannya tanpa pengulangan dengan isyarat lafal (tsalaatsan).
Biografi Periwayat Hadits
Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari
Beliau adalah Tamim bin Aus bin Kharijah bin Sud bin Judzaimah al-Lukhami al-Filisthini (dari Palestina), Abu Ruqayyah ad-Dari. Beliau masuk Islam pada tahun 9 H. Sebelumnya beliau seorang nasrani, bahkan salah seorang pendeta di Palestina. Pada suatu waktu terjadi pada dirinya sebuah kisah yang menakjubkan, yaitu kisah al-Jassasah [seekor hewan melata berbulu lebat yang berbicara kepada Tamim ad-Dari, yang juga akan berbicara kepada manusia kelak di akhir jaman - Lihat an-Nihayah (V/268) dan Lisanul-Arab (I/786)].
Dalam kisah itu terdapat cerita tentang Dajjal yang akan keluar nanti di akhir jaman – semoga Allah melindungi kita dari kejahatannya-. Nabi meriwayatkan kisah ini dari beliau (Tamim), dan ini sebagai salah satu keutamaan beliau (selengkapnya kisah al-Jassasah ini dalam Shahih Muslim (hadits no. 2942).
Semenjak masuk Islam, beliau tinggal di Madinah sampai terbunuhnya Khalifah Utsman bin ‘Affan. Setelah itu beliau pindah ke Baitul Maqdis di Palestina, tepatnya di desa ‘Ainun. Beliau termasuk salah seorang sahabat yang mengumpulkan al-Qur’an. Ada sekitar 40 hadits yang beliau riwayatkan dari Nabi, satu di antaranya terdapat dalam Shahih Muslim, yaitu hadits ini. Hidup beliau dipenuhi dengan ibadah. Beliau giat bertahajjud (shalat malam), dan membaca al-Qur’an. Beliau wafat pada tahun 40 H di Bait Jabrin, Palestina, tanpa meninggalkan seorang anak pun, kecuali Ruqayyah. Semoga Allah meridhai beliau. (Lihat biografinya dalam al-Ishabah (I/367), al-Isti‘ab (I/193), Siyar A‘lamin Nubala’ (II/442), ats-Tsiqat (III/39), dll).
Makna Kata dan Kalimat
Kata (ad-din) secara bahasa memiliki sejumlah makna, antara lain makna al-jaza’ (pembalasan), al-hisab (perhitungan), al-‘adah (kebiasaan), ath-tha‘ah (ketaatan), dan al-Islam (ajaran/agama Islam). Makna yang terakhir inilah yang dimaksud dalam hadits ini.
Kata (an-nashihah) berasal dari kata (an-nushhu) yang memiliki beberapa pengertian.
a. (al-Khulush) berarti murni (Lisanul-Arab (II/616), an-Nihayah (V/62), seperti dalam kalimat :
(alkhaalisu minal ‘asali) ‘Madu yang murni’. Perkataan dan perbuatan yang murni (bersih) dari kotoran dusta dan khianat adalah bagaikan madu yang murni (bersih) dari lilin (I‘lamu l-Hadits (I/190), dan Syarah Shahih Muslim (II/33)).
b. (‘al-Khiyathah/al-Khaith’) berarti ‘menjahit/ menyulam dengan jarum’ (Lisanul-Arab (II/617), Fathul Bari (I/167). Perbuatan seseorang yang menyampaikan nasehat kepada saudaranya yang melakukan kesalahan demi kebaikan saudaranya, adalah bagaikan orang yang menjahit/menyulam baju yang robek/berlubang sehingga baik kembali dan layak dipakai. (I’lamul-Hadits (I/190) dan Syarah Shahih Muslim (II/33).
Adapun menurut istilah syar’i, Ibnu al-Atsir menyebutkan, “Nasehat adalah sebuah kata yang mengungkapkan suatu kalimat yang sempurna, yaitu keinginan (memberikan) kebaikan kepada orang yang dinasehati. Makna tersebut tidak bisa diungkapkan hanya dengan satu kata, sehingga harus bergabung dengannya kata yang lain” (An-Nihayah (V/62). Ini semakna dengan defenisi yang disampaikan oleh Imam Khaththabi. Beliau berkata, “Nasehat adalah sebuah kata yang jami‘ (luas maknanya) yang berarti mengerahkan segala yang dimiliki demi (kebaikan) orang yang dinasihati. Ia merupakan sebuah kata yang ringkas (namun luas maknanya). Tidak ada satu kata pun dalam bahasa Arab yang bisa mengungkapkan makna dari kata (nasehat) ini, kecuali bila digabung dengan kata lain.” (I’lamul-Hadits (I/189-190) dan Syarah Shahih Muslim (II/32-33), lihat Fathul Bari (I/167)).
Kedudukan Hadits
Abu Dawud menyebutkan bahwa hadits ini adalah salah satu dari lima hadits yang kepadanya Fikih Islam bermuara (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/25 dan 203).
Abu Nu’aim mengatakan bahwa hadits ini memiliki kedudukan yang agung, yang dikatakan oleh Muhammad bin Aslam ath-Thusi bahwa dia adalah seperempat agama (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/25 dan 203) dan Fathul Bari (I/167)).
Bahkan, agama ini hanya bermuara kepadanya, seperti dikatakan oleh an Nawawi (Syarah Shahih Muslim (II/32)).
Ibnu Rajab berkata, “Nabi telah mengabarkan bahwa agama itu adalah nasehat. Hal ini menunjukkan bahwa nasehat mencakup Islam, Iman, dan Ihsan yang tersebut dalam hadits-Jibril (Muslim (hadits no. 8) dari Umar bin al-Khaththab)” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (1/206)).
MACAM-MACAM NASEHAT
“Agama (Islam) itu adalah nasehat”.
Khaththabi berkata, “Maksudnya adalah bahwa tiang (yang menyangga) urusan agama ini adalah nasehat. Dengannya, agama ini akan tegak dan kuat” (I’lamul-hadits (I/190)).
Ibnu Hajar berkata, “Boleh jadi (kalimat ini) bermakna mubalaghah (melebihkan suatu perkara). Maksudnya (bahwa) sebagian besar agama ini (isinya) adalah nasehat. Ini serupa dengan hadits: ‘Haji itu Arafah’.
Bisa jadi pula bermakna sebagaimana lahirnya lafal tersebut (yakni tidak lain agama ini adalah nasehat), karena setiap amalan yang dilakukan oleh seseorang tanpa ikhlas maka hal itu bukan termasuk bagian agama.” (Fathul Bari (I/167))
“Nasehat bagi Allah”
Yaitu, beriman kepada-Nya semata dengan tidak mempersekutukan diri-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan segala bentuk penyimpangan dan pengingkaran terhadap sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan segala sifat kesempurnaan dan kebesaran, mensucikan-Nya dari segala kekurangan, mentaati-Nya dengan tidak bermaksiat kepada-nya, cinta dan benci karena-Nya, bersikap wala’ (loyal) kepada orang-orang yang mentaati-Nya dan membenci orang-orang yang menentang-Nya, memerangi orang-orang yang kufur terhadap-Nya, mengakui dan mensyukuri segala nikmat dari-Nya, dan ikhlas dalam segala urusan, mengajak dan menganjurkan manusia untuk berperilaku dengan sifat-sifat di atas, serta berlemah lembut terhadap mereka atau sebagian mereka dengan sifat-sifat tersebut.
Khaththabi berkata, “Hakekat idhafah (penyandaran) nasehat kepada Allah –sebenarnya- kembali kepada hamba itu sendiri, karena Allah tidak membutuhkan nasehat manusia”. (Syarah Shahih Muslim (II/33), dan lihat I’lamul-Hadits (I/191)).
“Nasehat bagi Kitab Allah”.
Yaitu, mengimani bahwa Kitab Allah adalah Kalamullah (wahyu dari-Nya) yang Dia turunkan (kepada Rasul-Nya) yang tidak serupa sedikit pun dengan perkataan makhluk-Nya, dan tiada seorang makhluk pun yang sanggup membuat yang serupa dengannya. Mengagungkannya, membacanya dengan sebenar-benarnya (sambil memahami maknanya) dengan membaguskan bacaan, khusyu’, dan mengucapkan huruf-hurufnya dengan benar. Membelanya dari penakwilan (batil) orang-orang yang menyimpang dan serangan orang-orang yang mencelanya. Membenarkan semua isinya, menegakkan hukum-hukumnya, menyerap ilmu-ilmu dan perumpamaan-perumpamaan (yang terkandung) di dalamnya. Mengambil ibrah (pelajaran) dari peringatan-peringatannya.
Memikirkan hal-hal yang menakjubkan di dalamnya. Mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (yang jelas) disertai dengan sikap taslim (menerima sepenuh hati) ayat-ayat yang mutasyabih (yang sulit) – yakni bahwa semuanya dari Allah-. Meneliti mana yang umum (maknanya) dan mana yang khusus, mana yang nasikh (yang menghapus hukum yang lain) dan mana yang mansukh (yang dihapus hukumnya). Menyebarkan (mengajarkan) ilmu-ilmunya dan menyeru manusia untuk berpedoman dengannya, dan seterusnya yang bisa dimasukkan dalam makna nasehat bagi Kitabullah (Syarh Shahih Muslim (II/33), dan lihat juga I’lamul-Hadits (I/191-192)).
“Nasehat bagi Rasulullah”.
Yaitu, membenarkan kerasulan beliau, mengimani segala yang beliau bawa, mentaati perintah dan larangan beliau, membela dan membantu (perjuangan) beliau semasa beliau hidup maupun setelah wafat, membenci orang-orang yang membenci beliau dan menyayangi orang-orang yang loyal kepada beliau, mengagungkan hak beliau, menghormati beliau dengan cara menghidupkan sunnah beliau, ikut menyebarkan dakwah dan syariat beliau, dengan membendung segala tuduhan terhadap sunnah beliau tersebut, mengambil ilmu dari sunnah beliau dengan memahami makna-maknanya, menyeru manusia untuk berpegang dengannya, lemah lembut dalam mempelajari dan mengajarkannya, mengagungkan dan memuliakan sunnah beliau tersebut, beradab ketika membacanya, tidak menafsirkannya dengan tanpa ilmu, memuliakan orang-orang yang memegang dan mengikutinya. Meneladani akhlak dan adab-adab yang beliau ajarkan, mencintai ahli bait dan para sahabat beliau, tidak mengadakan bid‘ah terhadap sunnah beliau, tidak mencela seorang pun dari para sahabat beliau, dan makna-makna lain yang semisalnya (Syarah Shahih Muslim (2/33), dan lihat juga I’lam al-Hadits (1/192)).
“Nasehat bagi para imam/pemimpin kaum muslimin”.
Artinya, membantu dan mentaati mereka di atas kebenaran. Memerintahkan dan mengingatkan mereka untuk berdiri di atas kebenaran dengan cara yang halus dan lembut. Mengabarkan kepada mereka ketika lalai dari menunaikan hak-hak kaum muslimin yang mungkin belum mereka ketahui, tidak memberontak terhadap mereka, dan melunakkan hati manusia agar mentaati mereka.
Imam al-Khaththabi menambahkan, “Dan termasuk dalam makna nasehat bagi mereka adalah shalat di belakang mereka, berjihad bersama mereka, menyerahkan shadaqah-shadaqah kepada mereka, tidak memberontak dan mengangkat pedang (senjata) terhadap mereka –baik ketika mereka berlaku zhalim maupun adil-, tidak terpedaya dengan pujian dusta terhadap mereka, dan mendoakan kebaikan untuk mereka. Semua itu dilakukan bila yang dimaksud dengan para imam adalah para khalifah atau para penguasa yang menangani urusan kaum muslimin, dan inilah yang masyhur”. Lalu beliau melanjutkan, “Dan bisa juga ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan para imam adalah para ulama, dan nasehat bagi mereka berarti menerima periwayatan mereka, mengikuti ketetapan hukum mereka (tentu selama mengikuti dalil), serta berbaik sangka (husnu zh-zhan) kepada mereka”. (Syarah Shahih Muslim (2/33-34), I’lam al-Hadits (1/192-193)).
“Nasehat bagi kaum muslimin umumnya”.
Artinya, membimbing mereka menuju kemaslahatan dunia dan akhirat, tidak menyakiti mereka, mengajarkan kepada mereka urusan agama yang belum mereka ketahui dan membantu mereka dalam hal itu baik dengan perkataan maupun perbuatan, menutup aib dan kekurangan mereka, menolak segala bahaya yang dapat mencelakakan mereka, mendatangkan manfaat bagi mereka, memerintahkan mereka melakukan perkara yang ma’ruf dan melarang mereka berbuat mungkar dengan penuh kelembutan dan ketulusan. Mengasihi mereka, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda dari mereka, diselingi dengan memberi peringatan yang baik (mau‘izhah hasanah), tidak menipu dan berlaku hasad (iri) kepada mereka, mencintai kebaikan dan membenci perkara yang tidak disukai untuk mereka sebagaimana untuk diri sendiri, membela (hak) harta, harga diri, dan hak-hak mereka yang lainnya baik dengan perkataan maupun perbuatan, menganjurkan mereka untuk berperilaku dengan semua macam nasehat di atas, mendorong mereka untuk melaksanakan ketaatan dan sebagainya (Syarh Shahih Muslim (II/34), I’lamul-Hadits (I/193)).
Keutamaan Orang yang Memberi Nasehat
Menasehati hamba-hamba Allah kepada hal yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat mereka merupakan tugas para rasul. Allah mengabarkan perkataan nabi-Nya, Hud, ketika menasehati kaumnya, “Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepada kalian dan aku ini hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (Q.S. Al-A‘raf: 68).
Allah juga menyebutkan perkataan nabi-Nya, Shalih, kepada kaumnya setelah Allah menimpakan bencana kepada mereka, “Maka Shalih berkata, ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat’” (Q.S. Al-A‘raf: 79).
Maka seorang hamba akan memperoleh kemuliaan manakala dia melaksanakan apa yang telah dilakukan oleh para nabi dan rasul. Nasehat merupakan salah satu sebab yang menjadikan tingginya derajat para nabi, maka barangsiapa yang ingin ditinggikan derajatnya di sisi Allah, Pencipta langit dan bumi, maka hendaknya dia melaksanakan tugas yang agung ini (Qawaid wa Fawaid (hal. 94-95)).
Hukum Nasehat
Imam Nawawi menukil perkataan Ibnu Baththal, “(Memberi) nasehat itu hukumnya fardhu (kifayah) yang telah cukup bila ada (sebagian) orang yang melakukannya dan gugur dosa atas yang lain.” Lebih lanjut Ibnu Baththal berkata, “Nasehat adalah suatu keharusan menurut kemampuan (masing-masing) apabila si pemberi nasehat tahu bahwa nasehatnya akan diterima dan perintahnya akan dituruti serta aman dari perkara yang tidak disukainya (yang akan menyakitinya). Adapun jika dia khawatir akan menyebabkan bahaya (yang mencelakakan dirinya), maka dalam hal ini ada kelapangan baginya, wallahu a’lam” (Syarah Shahih Muslim (II/34)).
Namun, menengok kepada maknanya yang menyeluruh, nasehat itu ada yang fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah, ada yang wajib dan ada yang mustahab. Karena Nabi menjelaskan bahwa agama itu adalah nasehat, sementara agama itu ada di antaranya yang wajib dan ada yang mustahab, ada yang merupakan fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah (Qawaid wa Fawaid (hal. 95)).
Hal yang serupa telah dikatakan oleh Muhammad bin Nashr dalam kitabnya Ta‘zhim Qadra ash-Shalat seperti dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam , katanya, “Dan ia (nasehat) terbagi menjadi dua, ada yang fardhu (wajib) dan ada yang nafilah (sunnah/dianjurkan)”. Lalu beliau memerinci hal tersebut secara panjang lebar yang tidak dapat kami muat disini (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/207-210)).
Faedah-Faedah
1. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu khitab (penyampaian). Ini diambil dari kalimat: ‘Kami (para sahabat) bertanya, ‘untuk siapa?’”. (Fathul Bari (1/167), cet. Dar ar-Rayyan lit-Turats).
Dan bahwa nasehat itu dinamakan agama dan Islam, dan bahwa agama ini ada yang berupa perbuatan sebagaimana ada yang berupa perkataan (Qawaid wa Fawaid (hal. 95)).
2. Perkataan Imam Bukhari dalam shahihnya, “Bab sabda Nabi, ‘Ad-diinun nashiihah, lillahi, wa lirasulihi, wa liaimmatil muslimin wa ‘ammatihim’ Wa Qouluhu Ta’ala (wa idzaa nashohu lillahi walirasuulihi)” dalam kitab ‘al-Iman’, untuk menunjukkan bahwa nasehat merupakan bagian dari iman (Qawaid wa Fawaid (hal. 96)).
Wallahu A’lam .
Diambil dari Majalah Fatawa