Jumat, 24 Desember 2010

Islamicnet artikel: Keutamaan Bulan Muharram

Islamicnet artikel: Keutamaan Bulan Muharram: "Dalam kalender Hijriah terdapat empat bulan haram, yakni Dzulqaidah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab. Disebut haram karena keempat bulan it..."

Selasa, 07 Desember 2010

Puasa Muharram


Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pada zaman Rasulullah, orang Yahudi juga mengerjakan puasa pada hari 'asyuura. Mereka mewarisi hal itu dari Nabi Musa AS. Berawal dari situlah puasa Muharram di sunnahkan.

Dari Ibnu Abbas RA, ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa. Rasulullah SAW bertanya, "Hari apa ini? Mengapa kalian berpuasa?" Mereka menjawab, "Ini hari yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir'aun. Maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kami pun berpuasa."Rasulullah SAW bersabda, "Kami orang Islam lebih berhak dan lebih utama untuk menghormati Nabi Musa daripada kalian." (HR. Abu Daud).

Puasa Muharram merupakan puasa yang paling utama setelah puasa ramadhan. Rasululllah SAW bersabda:

Dari Abu Hurairah RA, Rasululllah SAW bersabda:

 “Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa dibulan muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam”.(HR. Muslim, Abu Daud, Tirmizdi, dan Nasa’i).

Puasa pada bulan Muharam yang sangat dianjurkan adalah pada hari yang kesepuluh, yaitu yang lebih dikenal dengan istilah ‘Asyuura.

Aisyah RA pernah ditanya tentang puasa 'asyuura, ia menjawab, "Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW puasa pada suatu hari yang beliau betul-betul mengharapkan fadilah pada hari itu atas hari-hari lainnya, kecuali puasa pada hari kesepuluh Muharam." (HR Muslim).

Dalam hadits lain Nabi juga menjelaskan bahwa puasa pada hari ‘asyura (10 Muharram) bisa menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lewat.

Dari Abu Qatadah RA, Rasululllah SAW ditanya tentang puasa hari ‘asyura, beliau bersabda:  

”Saya berharap ia bisa menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat” (HR. Muslim)

Disamping itu disunnahkan untuk berpuasa sehari sebelum ‘Asyura yaitu puasa Tasu’a pada tanggal 9 Muharram, sebagaimana sabda Nabi SAW yang termasuk dalam golongan sunnah hammiyah (sunnah yang berupa keinginan/cita2 Nabi tetapi beliau sendiri belum sempat melakukannya):

Ibnu Abbas RA menyebutkan, Rasulullah SAW melakukan puasa 'asyuura dan beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Para sahabat berkata, "Ini adalah hari yang dimuliakan orang Yahudi dan Nasrani. Maka Rasulullah saw. bersabda :

"Tahun depan insya Allah kita juga akan berpuasa pada tanggal sembilan Muharam." Namun pada tahun berikutnya Rasulullah telah wafat. (HR. Muslim, abu Daud).

Berdasar pada hadist ini, disunahkan bagi umat Islam untuk juga berpuasa pada tanggal sembilan Muharam. Sebagian ulama mengatakan, sebaiknya puasa selama tiga hari: 9, 10, 11 Muharam.

Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda :

"Puasalah pada hari 'asyuura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah sehari sebelum 'asyuura dan sehari sesudahnya." (HR Ahmad).

Ibnu Sirrin berkata: melaksanakan hal ini dengan alasan kehati-hatian. Karena, boleh jadi manusia salah dalam menetapkan masuknya satu Muharam. Boleh jadi yang kita kira tanggal sembilan, namun sebenarnya sudah tanggal sepuluh. (Majmuu' Syarhul Muhadzdzab VI/406) .

Semangat Hijrah


Segala puji hanya bagi Allah Azza Wazalla yang tiada terhingga, karena-Nya lah kita semua telah sampai dan bertemu kembali dengan tahun baru 1432 Hijriah. Tidak lupa marilah kita sampaikan shalawat dan salam kepada Uswatun Hasanah kita, Sayyidul Anbiyaa Wal Mursaliin Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam.

Sudah sewajarnya setiap memasuki tahun baru Islam, kita hendaknya memiliki semangat baru untuk merancang dan melaksanakan hidup ini secara lebih baik. Kita seharus merenung kembali hikmah yang terkandung di balik peristiwa hijrah yang dijadikan momentum awal perhitungan Tahun Hijriyah. Tahun hijriyah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Sistem penanggalan Islam itu tidak mengambil nama 'Tahun Muhammad' atau 'Tahun Umar'. Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, tidak seperti sistem penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani).

Tidak juga seperti sistem penanggalan Bangsa Jepang, Tahun Samura, yang mengandung unsur pemujaan terhadap Amaterasu O Mi Kami (dewa matahari) yang diproklamasikan berlakunya untuk mengabadikan kaisar pertama yang dianggap keturunan Dewa Matahari, yakni Jimmu Tenno (naik tahta tanggal 11 pebruari 660 M yang dijadikan awal perhitungan Tahun Samura) Atau penangalan Tahun Saka bagi suku Jawa yang berasal dari Raja Aji Saka.

Penetapan nama Tahun Hijriyah (al-Sanah al-Hijriyah) merupakan kebijaksanaan Khalifah Umar. Seandainya ia berambisi untuk mengabadikan namanya dengan menamakan penanggalan itu dengan Tahun Umar sangatlah mudah baginya melakukan itu. Umar tidak mementingkan keharuman namanya atau membanggakan dirinya sebagai pencetus ide sistem penanggalaan Islam itu. Ia bahkan menjadikan penanggalan itu sebagai zaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi harganya bagi agama dan umat Islam. Selain Umar, orang yang berjasa dalam penanggalan Tahun Hijriyah adalah Ali bin Abi Thalib. Beliaulah yang mencetuskan pemikiran agar penanggalan Islam dimulai penghitungannya dari peristiwa hijrah, saat umat Islam meninggalkan Makkah menuju Yatsrib (Madinah). 

Dalam sejarah hijrah nabi dari Makkah ke madinah terlihat jalinan ukhuwah kaum Ansor dan Muhajirin yang melahirkan integrasi umat Islam yang sangat kokoh. Kaum Muhajirin-Anshar membuktikan, ukhuwah Islamiyah bisa membawa umat Islam jaya dan disegani. Bisa dimengerti, jika umat Islam dewasa ini tidak disegani musuh-musuhnya, menjadi umat yang tertindas, serta menjadi bahan permainan umat lain, antara lain akibat jalinan ukhuwah Islamiyah yang tidak seerat kaum Mujahirin-Anshar.

Dari situlah mengapa konsep dan hikmah hijrah perlu dikaji ulang dan diamalkan oleh umat Islam. Setiap pergantian waktu, hari demi hari hingga tahun demi tahun, biasanya memunculkan harapan baru akan keadaan yang lebih baik. Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Hadist Rasulullah yang sangat populer menyatakan :
 ''Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, Adalah orang yang beruntung “.
Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka.'' Oleh karena itu, sesuai dengan firman Allah:

''Hendaklah setiap diri memperhatikan (melakukan introspeksi) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (alam akhirat) dan bertakwalah, sesungguhnya Allah maha tahu dengan apa yang kamu perbuatkan''. (QS. Al-Hasyar: 18).

Sungguh indah apabila ditahun baru ini kita mempunyai semangat yang kuat untuk menjadikan lebih baik lagi dari tahun-tahun yang telah kita lewati, sehingga apapun yang kita lewatu menjadi lebih berarti untuk dijadikan bekal kita dikala mengahdap Allah Rabbul'Aalamiin nanti…….

SELAMAT TAHUN BARU 1432 HIJRIAH


Tetap Bersyukur

Syukur kepada Allah yang tiada terhingga, karena-Nya lah sampai saat ini kita masih bisa merasakan berbagai macam ni’mat dalam kehidupan didunia ini. Dan sebagai hamba yang lemah kita tidak mungkin bisa menghitung betapa banyaknya ni’mat yang telah Allah karuniakan kepada kita semua. Maka benarlah Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 34 :
 
"Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala sesuatu yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni’mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya." (Ibrahim: 34). 

Jika kita mau menyadari dan merenungi betapa agungnya ni’mat Allah yang telah Dia anugerahkan kepada kita, niscaya tidak ada alasan apa pun bagi kita untuk durhaka kepada-Nya. Betapa tidak, sedangkan apa yang dialami seorang hamba dari mulai bangun tidur hingga tidur kembali, bahkan dalam tidur itu sendiri, semuanya itu tidak akan dapat ia jalani melainkan karena karunai dan izin dari-Nya. Apa yang ada pada diri dan jasad kita dari mulai ujung Rambut hingga ujung kaki adalah pemberian Allah. Apa yang ada di sekeliling kita dari mulai keluarga, kerabat, sanak saudara hingga harta benda adalah karunia Allah. Tidak ada satu detik pun yang dijalani Oleh seorang hamba dalam kehidupannya di dunia ini, melainkan ia selalu berada di bawah karunia dan anugerah Allah Yang Maha Pencipta. Allah Ta’ala berfirman

"Dan apa saja ni’mat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya)." (An-Nahl: 53).

Setelah mengetahui hakikat yang agung ini, lalu apakah yang harus kita lakukan sebagai seorang hamba lemah yang tidak memiliki daya upaya apa pun untuk mewujudkan sesuatu melainkan karena pertolongan dari-Nya.  Lalu akankah kita durhaka kepada-Nya padahal setiap detik kita meni’mati pemberian-Nya? Akankah kita melalaikan-Nya karena kesombongan kita dengan mengatakan bahwa segala yang kita capai adalah karena usaha dan jerih payah kita belaka, padahal tidaklah kita tinggal melainkan di atas bumi-Nya dan bernaung di bawah langit-Nya? 

Dengan demikian sudah menjadi suatu keniscayaan dan kewajiban yang tidak dapat lagi kita tawar, yakni untuk senantiasa ber-syukur kepada Allah Ta’ala, kapan pun, di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Meski kita sadari, bahwa sebanyak apa pun kita berusaha untuk mensyukuri ni’mat Allah Ta’ala, niscaya syukur kita tersebut tidak akan mungkin dapat membayar segala keni’matan yang telah Allah SWT anugerahkan kepada kita, bahkan syukur yang kita lakukan pun, adalah bentuk ni’mat yang Allah karuniakan kepada kita. Karena tidak akan mungkin bagi kita untuk menjadi hamba Allah yang bersyukur jika bukan karena Ridha dan izin-Nya kepada kita. Perhatikan Firman Allah dalam Al-Qur’an :

"Dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah." (Al-Baqarah: 172). 

Bersyukur kepada Allah tidak cukup dengan mengucapkan "Alhamdulillah" saja ketika kita mendapatkan ni’mat. Karena syukur tidak cukup hanya dengan lisan, melainkan harus dengan hati, juga lisan, dan anggota badan. Syukur dengan hati yakni kita mengakui dan meyakini bahwa apa pun ni’mat yang kita peroleh, semata-mata datangnya dari Allah Ta’ala. Sedangkan syukur dengan lisan, yaitu kita selalu membasahi lisan ini dengan dzikir dan ucapan syukur kepada-Nya. Adapun syukur dengan anggota badan, maka kita menggunakan segala bentuk ni’mat yang telah Allah anugerahkan kepada kita sebagai sarana untuk menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Kita pergunakan ni’mat apa pun yang telah diberikan-Nya untuk merealisasikan tujuan utama kita diciptakan, yakni untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu." (Adz-Dzariyat: 56).

Dan salah satu obat yang dinasehatkan dalam agama islam agar kita menjadi orang yang bersyukur ialah dengan bersikap Qana’ah yaitu menerima apapun yang telah diberikan oleh Allah didalam kehidupan ini.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

"Jadilah orang yang qana'ah, niscaya engkau menjadi manusia yang paling bersyukur." (HR. Ibnu Majah, nO. 4214, dan dishahihkan Oleh al-Albani). 

Kebahagiaan tidaklah diukur dengan berlimpahnya materi dunia, akan tetapi dengan kenyamanan dan ketenangan jiwa, dan itu hanya akan diraih oleh orang mukmin yang selalu bersyukur kepada-Nya. Marilah sama-sama senantiasa kita syukuri segala ni’mat yang telah dikaruniakan sekecil apa pun ni’mat itu menurut kita, karena Allah SWT telah menjanjikan pahala bagi orang yang mau bersyukur, dan mengancam dengan siksa bagi orang yang kufur. Sebagaimana Firman-Nya,

"Dan ingatlah tatkala Rabbmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Ibrahim: 7). 

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur dan selalu qana'ah terhadap apa pun yang kita dapatkan….Aamiin.


Kamis, 18 November 2010

INDAHNYA BERKURBAN

Suara takbir menggema diseantero alam raya, seluruh umat muslim serentak mengagungkan tuhannya yaitu Allah rabbul 'alamiin. Menta'zhimkan agama-Nya, mengangungkan asma-Nya, bersujud, bersyukur dan bertaqarrub atas segala karunia-Nya. Kemudian dillanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban sebagai manifestasi ketaatan terhadap perintah-Nya, meneladani Rasul-Nya serta memperigati peristiwa pengorbanan khalilullah Nabi Ibrahim dan Ismail 'alaihimassalam.


Mari sama-sama kita perhatikan Firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al-kautsar : 1-3  :



"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus"

Surat Al Kautsar sungguh memberi kabar gembira kepada umat akhir zaman. Betapa Allah SWT yang Maha Rahman telah memuliakan junjunan alam Muhammad saw dengan pelbagai karunia "al kautsar". Yaitu: al khairul katsir (kebaikan yang banyak), al Islam, al Quran, katsratu al ummah, al itsar, dan "rif'atul dzikri" di dunia ini kemudian telaga al Kautsar di akhirat kelak. Itu semua sudah Allah karuniakan kepada nabi kita Muhammad saw. Sedang bagi kita selaku ummat beliau, semua itu merupakan "busyra" kabar gembira, bahwa jika kita memenuhi syaratNya maka semua karunia itu pun disediakan bagi kita. Syaratnya hanya dua saja, yaitu menunaikan shalat karena "tha'atan wa taqarruban", dan menyembelih binatang nahar karena "syukran" atas nikmat Allah yang tak terhitung satuan maupun  jumlahnya. Dengan memperbanyak shalat yang juga bermakna do'a dan banyak berkorban (tadlhiyah), nikmat dan karunia dari Allah tidak akan pernah berkurang bagi yang melaksanakannya. Justeru dengan jalan itu, karunia Ilahi akan terus ditambahkan sepanjang jalan shalat dan pengorbanan. Jalan yang memastikan masa depan yang menjanjikan kebaikan, kemajuan dan kebahagiaan.

Tetapi sebaliknya, apabila jalan shalat dan pengorbanan itu tidak ditempuh, karena memperturutkan kemalasan dan kebakhilan, maka Allah tegaskan :

"Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus"

Artinya apa, disebabkan  keengganan mengikuti sunnah Rasulullah saw berupa penunaian shalat dan kurban, maka "al abtaru" keterputusan aliran rahmat Allah SWT telah menjadi ketetapan. Suatu gambaran masa depan yang suram, sebab tanpa rahmat Allah maka kegelapan lahir batin telah menanti.  Kegelapan individual kemudian kegelapan sosial menjadi tak dapat dihindari. Na'udzubillahi min dzalik..

Diatas telah disinggung bahwa di antara makna "al kautsar/karunia yang banyak" itu adalah "rif'atul dzikri" kedudukan yang tinggi dan sanjungan yang luhur. Itu merupakan resultan yang memang wajar dan logis. Betapa tidak sebab posisi kesyukuran dan pengorbanan itu berada pada anak tangga yang luhur.
  • Paling rendah adalah posisi MENGORBANKAN sesama, berarti posisi KEZHALIMAN yang mengantarkan kepada 'ZHULUMAT" kegelapan dunia akhirat, dimana aliran NUR ILAHI dan rahmatNya terputus.
  • Posisi di atasnya adalah MEMBIARKAN "Al khudzlan" yang juga dilarang oleh Rasulullah saw. Sikap abai membiarkan sehingga orang lain celaka, meskipun bersifat pasif tapi sesungguhnya termasuk kejahatan kepada sesame
  • Di atasnya posisi INSHAF (fairness/adil). Yaitu berbuat sewajarnya, sebatas menunaikan atau menggugurkan kewajiban agar terhindar dari kezhaliman. Boleh jadi meski positif tapi tidak dikedepankan dengan sepenuh hati.
  • Posisi tertinggi adalah TADLHIYAH/BERKORBAN untuk kebaikan sesama atau orang banyak.  Tentu saja dasarnya kerelaan yang bukan setengah hati, dan merupakan bentuk keihsanan yang merupakan kelanjutan dari taqwa
Binatang kurban yang disebut udlhiyah atau nahar adalah simbolisasi tadlhiyah yakni pengorbanan. Baik udlhiyah maupun tadlhiyah posisinya sama sebagai 'ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah (taqarruban wa qurbanan). Jika menyembelih udlhiyah merupakan 'ibadah material yang ritual, maka taldhiyah/pengorbanan di jalan Allah merupakan 'ibadah keadaban yang memajukan sektor-sektor kehidupan yang lebih luas. Tidak ada ruginya orang yang berudlhiyah dan bertadlhiyah, karena sesungguhnya termasuk dalam kerangka MULTI QURBAN/pendekatan diri dan MULTI INVESTASI.

Bertadlhiah merupakan multi pendekatan diri/qurban, sebagaimana dinyatakan dalam ikrar seorang muslim yang bertaqarrub kepada Rabbnya melalui shalat : INNA SHALATI WA NUSUKI WA MAHYAYA WA MAMATI LILLAHOI RABBIL 'ALAMIN LA SYARIKA LAH.
Kita diperintahkan untuk bertaqarrub kepada Maha Pencipta dengan shalat serta 'ubudiah yang lain, dan bertaqarrub kepada Allah dalam segala aktivitas hidup ini.
Bertadlhiyah bermakna multi investasi:

Merupakan investasi sosial (social investment) karena jelas, pengorbanan baik material maupun moral memberikan dampak sosial yang positif. Dalam Al Quran Surah Annisa ayat 114 disebutkan:  Bahwa tidak ada kebaikan dalam pembicaraan atau wacana yang diadakan, kecuali untuk mengajak orang bersedekah, memerintahkan yang ma'ruf, atau untuk mendamaikan sengketa di antara masyarakat. Dan barangsiapa melakukan itu karena ridha Allah niscaya berbalas pahala yang besar.


Bertadlhiah meruapakan investasi ekonomi (economic investment). Sebagaimana dinyatakan dalam QS al Lail, ayat 5- 10: "Barangsiapa memberi dan bertaqwa serta membenarkan balasan yang sebaik-baiknya, maka niscaya Kami beri kemudahan demi kemudahan. Dan barangsiapa yang kikir dan merasa tidak memerlukan orang lain serta mendustakan pahala yang lebih baik, maka niscaya Kami bukakan baginya pintu kesulitan".
Bertadlhiah juga  merupakan bentuk moral investment, yang mampu mengikis kekikiran " al syuhhu". Sifat kikir sangat berbahaya, sebagaimana diperingatkan dalam sabda Rasulullah sawy yang artinya adalah :

"Hati-hati dengan sifat kikir. Sebab sesungguhnya kehancuran umat sebelum kalian diakibatkan kekikiran, sifat kikir telah mendorong mereka untuk berlaku pelit, lalu mendorong mereka untuk memutus silaturahim dan akhirnya telah mendorong mereka melakukan kejahatan".

Endingnya, pengorbanan di jalan Allah tentu saja sebagai investasi ukhrawi. Sebagaimana disebutkan dalam Hadits bahwa 'ibadah  orang yang menyembelih binatang kurban sudah diterima Allah sebelum darahnya menetes ke tanah, dan merupakan seutama-utama 'ibadah pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Demikian agungnya makna serta pahala udlhiyah, tadlhiyah sebagai wujud pengorbanan untuk memajukan hidup sekaligus mendekatkan diri kepada Allah. Menumbuh kembangkan spirit pengorbanan merupakan bagian mendasar dalam rangka pembentukan karakter masyarakat dan bangsa yang beradab. Seorang pemimpin sejati akan lebih kuat tarikannya pada kekitaan untuk memikirkan masyarakatnya daripada tarikan pada ke akuan untuk semata memikirkan kepentingan diri sendiri. Untuk kemaslahatan kita pemimpin rela mengorbankan akunya jika diperlukan. Demikian halnya dengan negarawan, menempatkan akunya dalam ke kitaaan. Itulah yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah saw, sebagai sosok pemimpin yang datang dari kita "min anfusikum", penuh perhatian pada kita "'azizun 'alaihi ma 'anittum", selalu konsen kepada kepentingan kita "harishun 'alaikum", dan secara adil/proporsional memberi kasih sayangnya kepada semua "bil mukminina raufurrahim".


Namun apa yang kita saksikan dewasa ini. Jiwa pengorbanan pada banyak kalangan telah digeser oleh semangat atau nafsu mengorbankan orang lain. Bahkan sebetulnya bukan orang lain, tapi saudara sebangsa bahkan seprofesi dan seinstitusi. Perhatikan saja kemelut di ranah hukum, dimana para oknum melibatkan tiga lembaga hukum di Republik ini. Perang terbuka di  media massa makin membuat rakyat prihatin tetapi juga bingung. Kasus besar yang di-blow up, menggelinding makin ruwet bagai gulungan benang kusut. Analisis secara yuridis dan sosiologis tidak mampu membawa peta masalah makin terang benderang.

Hanya satu pisau analisis yang mampu memposisikan dan memahami masalah yang ada secara mendasar dan tepat. Yaitu analisis mental dan moral manusia. Secara mental ada kerusakan yang serius, yaitu hilangnya kejujuran "al shidqu", dan diputusnya ketertautan antara apa yang diperbuat di dunia ini dengan kesadaran terhadap negeri akhirat. Dengan absennya kejujuran maka yang menggantikannya adalah kedustaan "al kadzibu". Bermula dari dusta antar personal kemudian berkembang menjadi kedustaan publik bahkan bisa merambah jadi kedustaan institusional. Kalau sudah begitu, tidak ada lagi orang yang mau mengakui kesalahan malah justeru menyalahkan pihak lain, dan ujung-ujungnya mengorbankan pihak lain demi  membela akuisme personal atau egoisme lembaga. Pada alur ini cara-cara rekayasa, penjebakan, pengerdilan dan boleh jadi kriminalisasi menjadi pilihan yang dijalani.

Dalam konteks ini Rasulullah saw telah memberikan peringatan dengan sabdanya:

"Hati-hati dengan dusta, sebab dusta akan membawa pada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa akan menyeret ke naraka. Seseorang berulang kali berdusta hingga terbentuk sifat  dan dituliskan sebagai pendusta"
(Riwayat Muslim)

Egoisme bermula dari ketidak pedulian terhadap sesama, kemudian demi untuk memenangkan diri atau paling banter kolega kemistrinya maka orang menjadi tidak ragu untuk melakukan kedustaan yang tentu saja merugikan/menzhalimi orang lain. Berikutnya orang akan menutupi kebohongan pertama dengan kebohongan-kebohongan berikutnya secara berlapis-lapis. Krisis kejujuran ini menemukan sinergisitasnya dengan meluasnya egoisme di kalangan masyarakat. Egoisme yang kian parah, sanggup melupakan jasa seorang isteri yang berbilang tahun telah memberikan kesetiaannya secara ikhlas, begitu pun sebaliknya. Prahara rumah tangga hanya buah dari keakuan yang diperturutkan oleh seorang suami atau isteri. Gara-gara egoisme sektoral maka sinergi antar lembaga sosial atau pemerintah akan berantakan, perundingan akan date lock, yang menjadi konsen masing-masing pihak adalah mencari titik lemah dan melemahkan pihak yang lain.

Egoisme personal atau sektoral jika dikembangkan akan mengemuka dalam tiga sikap yang destruktif, sebagaimana disebutkan dalam Atsar Umar bin Khatthab. Yaitu: "syukhkhun mutha'un" sikap pelit yang menggerus rasa empati terhadap sesama; "hawan muttaba'un" yakni hawa nafsu selera rendah yang diikuti sehingga makin jauh dari idealisme bahkan kewajaran sekalipun; dan ketiga "dunyan mu'tsaratun" yaitu kepentingan duniawi yang terus dikejar. Dalam konteks itu semua bukan lagi nilai yang menjadi acuan atau norma yang jadi rujukan, melainkan "i'jabu dzirra'yi bira'yihi" kepongahan orang dalam  mempertahankan/membela  pendapatnya sendiri. Konsultasi diabaikan dan musyawarah dilecehkan dengan teknik-teknik manipulatif.

Faktor-faktor itu oleh sahabat Umar disebut "al muhlikat" yakni faktor-faktor penghancur  dalam kehidupan masyarakat. Kalau satu dari empat penyakit mental dan moral tersebut sudah merusak, bagaimana jika keempat-empatnya sekaligus telah menimpa  kalangan masyarakat kita.  Di bawah selimut awan pekat egoisme dan pelbagai bentuk rekayasa dan kebohongan, pesimisme di tengah-tengah masyarakat terus menyeruak melontarkan tanda tanya: masih adakah harapan akan keadilan, kejujuran dan ruang ASA bagi sebuah masa depan yang lebih baik ?

Betapapun kita telah banyak berbuat salah pada diri kita, kepada masyarakat serta ma'siat kepada Allah, kembalilah kepada iman di dada agar tetap punya harapan untuk baik. Allah SWT menyeru kita dalam al Quran Surah Azzumar, ayat 53 s/d 55:

"Katakanlah, hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepadaNya, sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, sebelum datang adazab kepadamu dengan tiba-tiba sedang kamu tidak menyadarinya".

Mari kita sadari betapa Allah telah memberi kita dengan karuniaNya yang banyak. Sebagai makhluk yang tahu berterima kasih, marilah kita mendekat kepada Allah . Jangan pernah tinggalkan shalat, perbanyak shalat sunat dan syukur nikmat. Mari belajar berempati kepada sesama dengan bentuk tadlhiyah (pengorbanan), moral dan/atau material. Mari syi'arkan 'idul qurban ini dengan menyaksikan, membantu atau juga menyembelih seekor hewan kurban, demi memenuhi seruan Allah, meneladani Rasulullah, memperingati pengorbanan kekasih Allah Nabi Ibrahim & Ismail 'alaihimassalam, dan untuk belajar berempati terhadap saudara-saudara kita yang kurang mampu.

Seseorang menjadi besar karena jiwanya besar. Tidak ada jiwa besar tanpa jiwa yang punya semangat berkorban. Berkat ruhul badzli wal tadlhiyah wal mujahadah/spirit berbagi, berkorban dan berjuang, ummat ini telah menjadi ummat yang besar, bergensi dan disegani dunia dalam sejarahnya. Mari kita kembalikan kebesaran serta gensi ummat ini dengan menyemai semangat memberi, berkorban dan mujahadah pada diri dan keluarga kita.


 

Jumat, 29 Oktober 2010

Sebuah Renungan


Beberapa hari ini kembali masyarakat Indonesia berada dalam kesedihan dan duka. Rentetan peristiwa yang tidak sedikit memakan korban harta dan jiwa terjadi silih berganti. Dimulai dari banjir bandang di Washior, gempa bumi yang diiringi tsunami di Mentawai, Merapi yang erupsi, sampai kepada genangan air yang hampir diseluruh Jakarta. Belum termasuk kejadian-kejadian lainnya yang selalu menjadi bumbu harian setiap media seperti perampokan, pemerkosaan, kebakaran, kerusuhan tabrakan dan sebagainya.
Berkaitan dengan begitu banyaknya peristiwa dann kejadian yang terjadi di negeri ini, mari kita ingat kembali istilah-istilah yang diberikan oleh Allah untuk berbagai peristiwa yang menimpa manusia, sebagai bagian dari intropeksi diri dan merupakan langkah awal menuju sebuah perbaikan.
Dalam Al qur’an ada tiga istilah untuk kejadian-kejadian yang menimpa manusia, ketiganya itu ialah Azab, musibah dan bala. Perbedaan ketiganya sangat jelas diterangkan oleh Al Qur’an,
1)     Azab adalah siksaan yang ditimpakan kepada manusia yang melampaui batas kemaksiatan dan dosa. Namun azab tidak ditimpakan kepada orang beriman. Beberapa jenis azab yang ditimpakan kepada orang yang melampaui batas, sebagaimana kaum Nuh yang Allah tenggelamkan dikarenakan mendustakan seorang Rasul, atau kaum Tsamud yang disebabkan tak beriman, membusungkan dada dan menantang datangnya adzab, Allah jadikan mereka mayat-mayat yang bergelimpangan dengan gempa yang mengguncang mereka, atau seperti kaum Luth yang dikarenakan perzinaan sesama jenis, homosexsual, Allah hujani mereka dengan batu, atau seperti kaum Madyan yang Allah jadikan mereka mayat-mayat yang bergelimpangan disebabkan curang dalam takaran dan timbangan serta membuat kerusakan dimuka bumi dan menghalangi Orang untuk beriman, atau seperti kaum ‘Aad yang disebabkan tidak memurnikan tauhid dan bersujud kepadaNya, Allah kiRim kepada mereka angin yang sangat panas yang memusnahkan mereka. Kaum-kaum terdahulu Allah hancurkan dan luluh lantahkan disebabkan satu dua kemungkaran yang dikepalai kesyirikan,
Atau kejadian yang diabadikan oleh Al Qur’an. Dalam Sirat Al-Fiil. Kisah tentang raja Abrahah penguasa dari Yaman yang ingin memindahkan Ka’bah, Akan tetapi sebelum mereka sampai Allah sudah terlebih dahulu mengutus burung ababil untuk menghancurkan mereka  :
“Dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang        berbondong-bondong,”
“yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,”
Menurut Syaikh Muhammad abduh ada virus yang dibawa burung  yang menyerang seluruh pasukan bergajah itu , maka seluruh dagingnya cair tinggal tulang-belulang yang putih, akan tetapi kakek dari Nabi Muhammad tidak terkena azab tersebut. Ini suatu contoh bahwa hanya orang durhaka yang tertimpa azab dan orang beriman tidak akan terkena azab.Dan masih banyak kaum-kaum yang ditimpa azab oleh Allah SWT yang diabadikan dalam Al Qur’an. Dan Mengenai azab ini marilah kita renungkan Firman Allah dalam Al-quran Surat al-An’am ayat 65-67 :
           
65. Katakanlah: " Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu[482] atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti[483] agar mereka memahami(nya)".
66. dan kaummu mendustakannya (azab)[484] Padahal azab itu benar adanya. Katakanlah: "Aku ini bukanlah orang yang diserahi mengurus urusanmu".
67. untuk Setiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui.
2)     Yang Kedua Musibah, musibah tidak hanya menimpa kepada orang-orang kafir dan durhaka saja, tetapi juga menimpa orang-orang yang beriman dan juga orang-orang yang sholeh. Dengan demikian apabila dalam suatu peristiwa atau kejadian terdapat korban yang bukan hanya dari golongan orang-orang kafir saja tetapi banyak juga dari golongan orang-orang yang beriman, ini bisa kita sebut musibah.
Fungsi musibah didalam Al Qur’an dan hadist adalah untuk menguji siapa orang yang termasuk hamba Allah yang sejati, mari kita perhatikan firman Allah dalam Al-qur’an :
 “ Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.”
Musibah didalam Al Qur’an berfungsi juga sebagai penghapus dosa masa lampau, ada sebuah hadist yang mengungkapkan :
“Jika Allah berkehendak baik terhadap hambanya, maka Allah akan menurunkan musibah terhadap hamba itu didunia, sehingga lunas didunia dan tidak lagi mendapat siksaan di akhirat, begitupun sebaliknya jika Allah berkehendak tidak baik terhadap hambanya, maka ia akan menunda siksanya untuk diakhirat sana.
Oleh karena itu jika kita saat ini tidak terkena musibah, jangan lantas berpuas diri, karena khawatir kita termasuk dalam golongan yang kedua dari hadist ini. Yaitu mendapat siksa dineraka kelak
3)     Bala, bala lebih merupakan human eror yaitu kesalahan atau kecerobohan manusia sehingga terjadi kecelakaan dan hal hal yang merugikan dirinya sendiri. Yang harus kita perhatikan disini, ketika Allah menugaskan manusia untuk menjadi khalifah dimuka bumi ini yaitu untuk menjaga dan merawat bumi ini. Maka, tunduknya alam semesta kepada manusia selama manusia itu sendiri tidak melampaui batas, akan tetapi jika manusia melampaui batas maka alam semesta itu tidak lagi tunduk kepada manusia bahkan bisa menjadi bencana buat manusia. Kalau tadinya laut digambarkan oleh Alqur’an sebagai sarana transfortasi bisa jadi sebagai tempat terjadinya bencana. Angin yang tadinya berfungsi sebagai alat penyerbukan bisa berubah menjadi angin topan yang ganas, yang menghancurkan manusia itu sendiri. Firman Allah :
 “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Dari pemaparan diatas, kita bisa menilai….apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan diri kita?.....Apa yang sebenarnya yang terjadi dinegeri ini. apakah ini azab, musibah atau bala?
Selanjutnya mari kita renungkan firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 79 :
“ Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.
Semoga kita tergolong orang-orang yang senantiasa pandai menjalankah amanah dari Allah sehingga kita selalu diberikan jalan keluar dari setiap kesulitan kita, dijauhkan dari segala macam bala dan keburukan.
Saudara seiman, sebangsa dan setanah air yang saat ini terkena bencana, kita do’akan semoga diberikan ketabahan, keasabaran dan kekuatan oleh Allah SWT.